Senin, 07 Desember 2009

SANTUNAN JASA RAHARJA DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN ISLAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia saat ini masih sangat tinggi. Data kepolisian menunjukkan terdapat rata-rata 29 orang meninggal setiap hari atau 10.696 setiap tahunnya. berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah teerjadinya kecelakaan, seperti adanya rambu-rambu, patroli polisi lalu lintas dan lain-lain, selain itu untuk meringankan permasalahan korban kecelakaan lalu lintas dan ahli warisnya, pemerintah mempunyai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang khusus mengelola asuransi pertanggungan kecelakaan. Berdasarkan PP No. 8 Tahun 1965 PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola dana kecelakaan lalu lintas. Kedudukan PT Jasa Raharja dalam asuransi kecelakaan lalu lintas adalah sebagai penanggung, sedangkan pengusaha/pemilik angkutan lalu lintas jalan dan penumpang kendaraan umum adalah tertanggung. Peristiwa kecelakaan menimbulkan kewajiban hukum dari penanggung untuk membayar santunan sejumlah (uang) tertentu. Santunan adalah sejumlah uang yang dibayar oleh penanggung kepada tertanggung disebabkan terjadinya evenemen. Kewajiban hukum timbul karena adanya hubungan hukum antara penanggung dan tertanggung yang terjalin oleh suatu ikatan bersama berdasarkan hukum. Pengertian santunan Jasa Raharja dari penjelasan di atas ialah sejumlah uang yang dibayar oleh PT Jasa Raharja kepada korban kecelakaan lalu lintas, sebagai ganti rugi atas terjadinya evenemen, karena adanya hubungan hukum. Berdasarkan pasal 2 UU No. 33 tahun 1964 hubungan hukum pertanggungan wajib kecelakaan penumpang diciptakan antara iuran dana (tertanggung) dan penguasa dana (penanggung). Berdasarkan pasal 2 UU No. 34 Tahun 1964, hubungan hukum pertanggungan kecelakaan lalu lintas jalan diciptakan antara sumbangn wajib (pengusaha atau pemilik alat angkutan lalu lintas jalan) dan penguasa dana (penanggung). Macam-macam jaminan santunan yang diberikan oleh Jasa Raharja kepada korban kecelakaan lalu lintas yaitu: 1. Penumpang kendaraan bermotor umum. Menurut pasal 3 PP No. 17 Tahun 1965, penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional mendapat jaminan pertanggungan kecelakaan. 2. Kendaraan bermotor pribadi. Jaminan ini dikarenakan pemilik kendaraan tersebut telah membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) saat pengesahan/perpanjangan masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). 3. Mobil plat hitam. Menurut UU No. 33 Tahun 1964 jo. PP No. 17 Tahun 1965, penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat angkutan penumpang umum, seperti mobil pariwisata, mobil sewa dan lain-lain, mendapat jaminan pertanggungan kecelakaan. 4. Kecelakaan di luar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya. PP No. 18 Tahun 1965 pasal 10 menegaskan bahwa: “Setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagai demikian, diberi hak atas suatu pembayaran dari dana kecelakaan lalu lintas jalan”. Orang di luar alat angkutan lalu lintas yang menjadi korban akibat kecelakaan dari pengoperasian alat angkutan lalu lintas adalah pengguna jalan bukan penumpang dan pengendara, misalnya pejalan kaki, beca, dan pekerja perbaikan jalan. Pemberian hak kepada pihak ketiga (bukan penanggung dan tertanggung) ini karena ketentuan pasal 32 UU No. 14 Tahun 1992 setiap kendaraan umum wajib mengasuransikan kendaraan sendiri maupun pihak ketiga akibat pengoperasian kendaraan tersebut. Berdasarkan ketentuan PP No. 18 Tahun 1965 pasal 12 ayat 1 dan 2 santunan Jasa Raharja bagi korban luka-luka atau cacat diserahkan kepada korban, sedangkan bagi korban yang meninggal dunia, santunan diserahkan kepada ahli warisnya. Ahli waris bagi korban meninggal menurut ketentuan PP No. 18 Tahun 1965 yaitu: 1. Janda atau dudanya yang sah. 2. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah, kepada anak-anaknya yang sah. 3. Dalam hal tidak ada janda/dudanya dan anak-anaknya yang sah kepada orang tuanya yang sah. Berdasarkan PP No. 17 Tahun 1965 sumber dana untuk pembayaran santunan bagi para korban kecelakaan lalu lintas, berasal dari Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang dibayarkan oleh para pemilik kendaraan bermotor pada waktu pengesahan/perpanjangan masa berlaku STNK di Kantor Samsat setiap tahunnya. Selain itu, sumber dana juga berasal dari pembelian tiket angkutan umum bus, kereta api, kapal penyeberangan, kapal laut dan pesawat. Orang yang bukan pemilik alat angkutan lalu lintas dan penumpang kendaraan umum, tidak diwajibkan membayar dana sumbangan wajib kecelakaan. Hal ini membuktikan bahwa orang tersebut tidak ikut memiliki Santunan Jasa Raharja, namun karena meninggal akibat pengoperasian alat angkutan lalu lintas maka ia mendapat santunan dari PT Jasa Raharja. Santunan Jasa Raharja yang diperuntukkan kepada korban meninggal di luar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya, menimbulkan persoalan apakah santunan tersebut dapat dikategorikan sebagai harta waris menurut hukum Islam atau tidak. Harta peninggalan menurut hukum Islam ialah segala yang dimiliki sebelum meninggal, baik berupa benda maupun hutang, atau berupa hak atas harta. Selain itu ada yang menyebutkan harta peninggalan adalah hak yang dimiliki mayit karena kematiannya, seperti denda (diyat) bagi pembunuhan atas dirinya. Menurut ulama Hanafiyah harta peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit secara mutlak, sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, harta peninggalan meliputi semua harta yang ditinggalkan mayit, baik harta benda maupun hak bukan harta benda. Hak-hak yang harus dilaksanakan sebelum harta peninggalan diberikan kepada ahli warisnya yaitu: pertama perawatan jenazah, kedua pembayaran hutang, ketiga pelaksanaan wasiat. Rukun-rukun mewariskan ada tiga yaitu: 1. Harta peninggalan, yaitu peninggalan mayit setelah diambil biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang, dan melaksanakan warisan. 2. Orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan. 3. Ahli waris, yaitu orang yang akan menerima harta peninggalan. Syarat-syarat mewariskan: 1. Matinya muwaris, 2. Hidupnya ahli waris, 3. Tidak adanya penghalang-penghalang mempusakai. Pengertian harta peninggalan (tirkah) di atas menyebutkan bahwa harta harus dimiliki sebelum meninggal, sedangkan Santunan Jasa Raharja untuk korban meninggal di luar alat angkutan lalu lintas tidak dimiliki mayit sebelum meninggal. Oleh sebab itu penelitian ini akan membahas Santunan Jasa Raharja bagi korban di luar alat angkutan lalu lintas dihubungkan dengan konsep tirkah dalam perspektif hukum kewarisan Islam, sehingga jelas bagaimana seharusnya uang santunan tersebut di belanjakan menurut hukum Islam. Kejelasan Santunan Jasa Raharja menurut hukum Islam menjadi penting untuk dipecahkan, karena kecelakaan di jalan raya bisa menimpah siapa saja, termasuk umat Islam Indonesia, oleh sebab itu dibutuhkan dasar untuk dijadikan pedoman dalam pembelanjaan santunan Jasa Raharja tersebut, agar sesuai dengan hukum Islam. Dalam usaha memperoleh hak hartanya, para korban kecelakaan atau ahli warisnya diberi waktu selama enam bulan untuk mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui perusahaan negara yang telah ditunjuk berdasarkan undang-undang, dalam hal ini perusahaan asuransi Jasa Raharja, yang menyatakan bahwa ia berhak atas uang santunan tersebut dengan disertai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pihak perusahaan, yang membuktikan bahwa ia memang berhak memperoleh uang santunan dari perusahaan tersebut. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tidak ada para pihak yang bersangkutan untuk mengajukan permohonan, atau permohonan tersebut ditolak oleh perusahaan karena tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan, maka ia tidak berhak mendapatkan uang santunan. Dalam hal korban kecelakaan meninggal dunia, sudah barang tentu ada kaitannya dengan ahli waris dan harta peninggalan. Korban, sebagai seseorang yang telah meninggal dunia (dalam sistem kewarisan biasa disebut dengan istilah pewaris), berhak atas uang santunan dari perusahaan asuransi Jasa Raharja (dalam sistem kewarisan biasa disebut dengan istilah harta peninggalan). Akan tetapi harta peninggalan yang berupa hak untuk memperoleh uang santunan dari pihak perusahaan Jasa Raharja merupakan hak kepemilikan harta yang sebelumnya bukan miliknya pribadi, tetapi diperoleh akibat adanya kecelakaan yang menimpa dirinya, dan harta tersebut baru menjadi miliknya secara sempurna setelah ia memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak perusahaan untuk dianggap sebagai pihak yang memang berhak untuk memperoleh dan menerima uang santunan, artinya belum tentu ia memang akan memiliki hak harta tersebut. Berangkat dari kerangka pikir di atas, kiranya penulis dapat memfokuskan permasalahan yang menjadi topik kajian. Oleh karenanya penulis ingin menuangkan ke dalam skripsi yang penulis beri judul : "SANTUNAN JASA RAHARJA DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN ISLAM". B. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang di atas identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana proses terjadinya Santunan Jasa Raharja bagi korban meninggal dunia? 2. Bagaimana hukum Santunan Jasa Raharja untuk korban meninggal bagi penumpang kendaraan umum maupun pribadi dalam perspektif kewarisan Islam? 3. bagaimana Santunan Jasa Raharja bagi korban meninggal di luar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya dalam perspektif kewarisan Islam? C. Tujuan Pembahasan Dalam tujuan pembahasan ini, penulis menjadikan motivasi untuk mengkaji dan menganalisa secara kritis serta mencari jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan di atas. Adapun tujuan pembahasan dari penulis skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahiu Bagaimana proses terjadinya Santunan Jasa Raharja bagi korban meninggal dunia 2. Untuk mengetahui Bagaimana hukum Santunan Jasa Raharja untuk korban meninggal bagi penumpang kendaraan umum maupun pribadi dalam perspektif kewarisan Islam. 3. Untuk mengetahui bagaimana Santunan Jasa Raharja bagi korban meninggal di luar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya dalam perspektif kewarisan Islam. D. Kegunaan Pembahasan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. A. Secara teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan teori santunan Jasa Raharaja. 2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pijakan bagi penelitian-penelitian berikutnya yang membahas santunan Jasa Raharja. B. Secara praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk amaliah masyarakat berhubungan kewarisan santuna Jasa Raharja dalam perspektif hukum kewarisan Islam. 2. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan acuan pemerintah dalam penyusunan undang-undang. E. Metotologi Pembahasan 1. Jenis penelitian Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), yakni menelusuri leteratur serta menelaahnya, mempelajari dan mengkaji buku-buku atau sumber-sumber yang erat kaitannya dengan masalah yang akan dibahas, dengan cara mendeskripsi, membandingkan dan menganalisa masalah-masalah Santunan Jasa Raharja dan pengaruh istinbath hukum dan kemudian disimpulkan. 2. Jenis data Merupakan hal terpenting dan mendukung dalam penulisan skripsi ini semua berasal dari kumpulan data-data literatur sehingga metode penelitian yang digunakan bersifat library research yang meliputi : - Pengertian santunan jasa raharja - Pengaturan asuransi kecelakaan lalu lintas - Proses terjadinya santunan jasa raharja - Cara memperoleh santunan jasa raharja - Harta peninggalan - Santunan jasa raharja untuk korban minggal dunia 3. Sumber data Adapun sumber data dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi dua data, yaitu data primer dan data skunder. 1. Data primer  Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usulul Fiqh  Amir Syarifudin, Ushul Fiqih  Amir,Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam  Muhammad, Abdulkadir. 2002. Hukum Asuransi Indonesia.  Prakoso, Djoko. 2002. Hukum Asuransi Indonesia.  Purwosutjipto, H.M.N. 1990. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pengangkutan.  Purwosutjipto, H.M.N. 1990. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pertanggungan. 2. Data skunder Yaitu data-data yang berkaitan dengan masalah santunan jasa raharja dan pengaruh istinbath hukum yang penulis bahas pada skripsi ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Mengigat sumber datanya bahan kepustakaan, maka tekhnik pengumpulan datanya adalah dengan cara mengumpulkan beberapa literatur untuk dianalisa bagian-bagian yang berhubungan pembahasan Kemudian melakukan pencatatan atau pengutipan guna mempermudah langkah-langkah selanjutnya, yaitu mendeskripsikan data tersebut, artinya semua data yang telah terkumpul dipaparkan sedemikian rupa tanpa bermaksud mendapatkan makna atau implikasi. 5. Teknik analisa Data Pada penggunaan tekhnik data, penulis menggunakan tekhnik analisa melalui kepustakaan dengan mengumpukan data-data kepustakaan dan mengklasifikasinya dan mengambil bagian-bagian yang dianggap penting yang kemudian dianalisa. Maka tekhnik ini penulis menggunakan metode yaitu : 1. Desktiptif : yaitu menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku atau generalisasinya. 2. Deduktif : yaitu menarik suatu menuju pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio (berfikir rasional). Yang menganalisa secara umum tentang santunan jasa raharja kemudian menarik suatu kesimpulan. F. Sistematika Pembahasan Gambaran secara global dalam skripsi ini dapat dilihat pada sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I : Merupakan pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah tujuan penelitian, kegunaan penelitian, data penelitian, metode penelitian, sistematika pembahasan. BAB II: Memaparkan santunan Jasa Raharja bagi korban meninggal dunia yang diakibatkan pengoperasiannya, membahas pengertian Santunan Jasa Raharja, pengaturan, pihak-pihak, premi, evenemen dan cara memperoleh santunan Jasa Raharja. BAB III: Merupakan kajian teori hukum Islam tentang, pertama kepemilikan harta, berisi definisi, macam-macam, dan sebab-sebabnya, kedua harta waris (tirkah), berisikan pengertian, macam-macam, dasar hukum, syarat, rukun, hak-hak yang berhubungan dengan tirkah, ketiga ahli waris. BAB IV: Analisa data, berisi paparan santunan Jasa Raharja bagi korban meninggal di luar alat angkutan lalu lintas yang diakibatkan pengoperasiannya dalam prespektif hukum kewarisan Islam, membahas dalil, madlul, istinbath hukumnya. BAB V : Merupakan bab yang terakhir yaitu penutup, berisikan kesimpulan dan natijah serta saran yang dianggap penting berdasarkan hasil penelitian ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES TERJADINYA SANTUNAN JASA RAHARJA A. Pengertian dan Proses Terjadinya Santunan Jasa Raharja Peristiwa kecelakaan dalam Askel dan Askep menimbulkan kewajiban hukum dari penanggung untuk membayar santunan sejumlah tertentu. Uang Santunan adalah sejumlah uang yang dibayar oleh penanggung kepada tertanggung dalam hal terjadinya evenemen. Kewajiban hukum timbul karena adanya hubungan hukum antara penanggung dan tertanggung yang terjalin oleh suatu ikatan bersama berdasarkan hukum. PT Jasa Raharja dalam asuransi pertanggungan kecelakaan lalu lintas adalah sebagai penanggung, sedangkan pengusaha/pemilik angkutan lalu lintas jalan dan penumpang kendaraan umum adalah tertanggung, oleh sebab itu PT Jasa Raharja berkewajiban memberikan santunan kepada korban kecelakaan lalu lintas jalan. Santunan asuransi pertanggungan kecelakaan lalu lintas disebut santunan Jasa Raharja, karena santunan tersebut dibayar oleh PT Jasa Raharja kepada korban. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan, yang dimaksud dengan santunan Jasa Raharja ialah sejumlah uang yang dibayar oleh PT Jasa Raharja kepada korban kecelakaan lalu lintas, sebagai ganti rugi atas terjadinya evenemen, karena adanya hubungan hukum. Proses terjadinya santunan yang diberikan oleh Jasa Raharja kepada korban kecelakaan lalu lintas yaitu: 1. Penumpang kendaraan bermotor umum, Penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, mendapat santunan berdasarkan pasal 3 PP No. 17 Tahun 1965. Batas-batas penumpang kendaraan umum yang mendapat santunan Jasa Raharja sebagai berikut: a. Kendaraan bermotor umum: antara saat penumpang naik kendaraan yang bersangkutan di tempat berangkat dan saat turunnya dari kendaraan tersebut di tempat tujuan. b. Kereta api: antara saat naik alat angkutan perusahaan kereta api di tempat berangkat dan saat turunnya dari alat angkutan perusahaan kereta api di tempat tujuan menurut karcis yang berlaku untuk perjalanan yang bersangkutan. c. Pesawat terbang: antara saat naik alat angkutan perusahaan penerbangan yang bersangkutan atau agennya di tempat berangkat dan saat meninggalkan tangga pesawat terbang yang ditumpanginya di tempat tujuan menurut tiketnya yang berlaku untuk penerbangan yang bersangkutan. d. Kapal: antara saat naik alat angkutan perusahaan perkapalan/pelayaran yang bersangkutan di tempat berangkat dan saat turun di darat pelabuhan tujuan menurut tiket yang berlaku untuk perjalanan kapal yang bersangkutan. 2. Pengusaha/pemilik alat angkutan umum. Menurut ketentuan pasal 2 Undnag-undang No. 34 Tahun 1964, pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan diharuskan memberi sumbangan wajib setiap tahun untuk menutupi akibat keuangan karena kecelakaan lalu lintas kepada korban/ahli waris yang bersangkutan. sehingga selama alat angkutan lalu lintas ada, maka selama itu pengusaha/pemiliknya wajib membayar sumbangan wajib, dan selama itu pula ancaman kecelakaan lalu lintas jalan menjadi beban penanggung. 3. Kendaraan bermotor pribadi. Selama kendaraan tersebut ada dan dalam fungsinya sebagai alat angkutan, sebab menurut UU No. 34 tahun 1964, jika kendaraan digunakan selain sebagai alat angkutan tidak akan mendapatkan santunan Jasa Raharja apabila mengalami kecelakaan. 4. Penumpang mobil plat hitam. Bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat angkutan penumpang umum, seperti antara lain mobil pariwisata, mobil sewa dan lain-lain, terjamin oleh UU No. 33 Tahun 1964 jo. PP No. 17 Tahun 1965. 5. Setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan, hak ini terjamin dalam pasal 28 UU No. 14 Tahun 1992, atau PP No. 18 Tahun 1965. Berdasarkan pasal 14 PP No. 18 Tahun 1965, pemilik/pengusaha kendaraan bermotor wajib mengganti lagi kepada perusahaan jumlah pembayaran dana yang telah dibayarkan oleh perusahaan kepada korban/ahli waris, apabila kecelakaan disebabkan karena: a. Kendaraannya dikemudikan oleh orang yang tidak mempunyai surat izin mengemudi yang sah. b. Pengemudinya dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang mengandung alkohol atau obat bius ataupun oleh hal-hal lain. c. Tindakan-tindakan lain yang merupakan pelanggaran dengan sengaja terhadap peraturan lalu lintas jalan. d. Tidak memenuhi kewajibannya membayar sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas kecuali, jika pemilik/pengusaha kendaraan bermotor yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa kecelakaan terjadi di luar tanggung-jawab atau di luar kesalahannya. B. Pengaturan Asuransi Kecelakaan Pertanggungan kecelakaan termasuk jenis asuransi yang diwajibkan oleh pemerintah dan diatur oleh undang-undang. Dikatakan asuransi wajib karena: 1. Berlakunya asuransi diwajibkan bukan berdasarkan perjanjian. 2. Pihak penyelenggara asuransi ini adalah pemerintah yang didelegasikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Jasa Raharja. 3. Bermotif perlindungan, yang dananya dihimpun dari masyarakat dan digunakan untuk masyarakat. 4. Dana yang sudah terkumpul dari masyarakat, tetapi belum digunakan sebagai dana kecelakaan, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Pengaturan Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Askep) diatur dalam UU No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Lembaran Negara Nomor 137 Tahun 1964 yang mulai berlaku 31 Desenber 1964. Undang-undang ini dilaksanakan dengan PP No. 17 Tahun 1965 yang mulai berlaku 10 april 1965, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 415 Tahun 2001 tentang Penetapan Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, ferry/Penyebrangan, Laut dan Udara. Undang-undang ini beserta peraturan pelaksananya merupakan dasar berlakunya Asuransi Kecelakaan Penumpang (Askep). Pengaturan Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Askel) diatur dalam UU No. 34 Tahun 1964, mulai berlaku 31 Desember 1964. Undang-undang ini dilaksanakan dengan PP No. 18 Tahun 1965 yang berlaku 10 April 1965. Undang-undng ini beserta pelaksanaannya merupakan dasar berlakunya Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Askel). C. Pihak-pihak dalam Asuransi Kecelakaan dan Cara Memperoleh Santunan Jasa Raharja Hubungan hukum dalam Askep, pertanggungan wajib kecelakaan penumpang diciptakan antara iuran dana dan penguasa dana (pasal 2 UU No. 33 Tahun 1964). Berdasarkan ketentuan ini penguasa dana berkedudukan sebagai penanggung, sedangkan pembayar iuran berkedudukan sebagai tertanggung. Penguasa dana yang dimaksud adalah PT Jasa Raharja karena merupakan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menangani pertanggungan wajib kecelakaan sesuai dengan KMK No. 337 Tahun 1981. Pembayar iuran adalah penumpang angkutan umum berdasarkan KMK No. 415 Tahun 2001 pasal 4 ayat 1 bahwa: “setiap penumpang alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/danau, ferry/penyebrangan, laut dan udara untuk setiap kali perjalanan diwajibkan membayar Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan” Hubungan hukum dalam Askel, tercipta dari kewajiban pemilik kendaraan umum memberi sumbangan untuk dana pertanggungan wajib kecelakaan. Pasal-pasal yang mengatur hal ini diantaranya: 1. Pasal 2 UU No. 34 Tahun 1964 mengatur kewajiban membayar sumbangan wajib, bagi pemilik atau pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan untuk menutup akibat keuangan karena kecelakaan lalu lintas jalan korban atau ahli warisnya yang bersangkutan. 2. Pasal 2 ayat 1 PP No. 18 1965, kewajiban memberi sumbangan ditentukan setiap tahun bagi pemilik atau pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan. 3. Pasal 3 KMK No. 416 mengatur jumlah sumbangan wajib yang harus dibayar pemilik atau pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan. 4. pasal 32 UU No. 14 Tahun 1992 pengusaha angkutan umum wajib mengasuransikan terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian kendaraan. Berdasarkan ketentuan UU No. 34 Tahun 1964 pihak yang terlibat dalam Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu lintas Jalan (Askel), yaitu: a. Pihak pemilik kendaraan bermotor, yang dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas, sebagai sumber dana. b. Pihak pengguna jalan raya bukan penumpang yang dapat menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan ketentuan kendaraan umum wajib mengasuransikan terhadap kendaraan itu sendiri maupun kerugian yang diderita pihak ketiga akibat pengoperasian kendaraan tersebut (pasal 32 UU No. 14 Tahun 1992), maka pengguna jalan juga merupakan pihak-pihak dalam Askel. c. Pihak penguasa dana, yaitu pemerintah yang didelegasikan kepada BUMN dalam hal ini adalah PT Jasa Raharja. Perbedaan antara Askep dan Askel terletak pada hal-hal berikut: a. Askep sumber penyumbangnya adalah penumpang, sedangkan pada Askel sumber dananya adalah pemilik dan pengusaha kendaraan bermotor. b. Pihak yang diancam bahaya kecelakaan pada Askep adalah penumpang, sedangkan pada Askel adalah bukan penumpang, misalnya pejalan kaki, pengendara motor, beca, pekerja perbaikan jalan. Cara menperoleh santunan Jasa Raharja secara umum sesuai PP No. 17 dan 18 Tahun 1965 yaitu: 1. Tuntutan ganti kerugian (pembayaran dana) diajukan kepada penanggung yaitu PT Asuransi Jasa Raharja setempat sebagai penguasa dana. 2. Pengajuan pembayaran dana harus diajukan sebelum enam bulan sesudah terjadinya kecelakaan berdasarkan pasal 18 PP No. 18 Tahun 1965. 3. Korban meninggal, menggunakan proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang berwenang, keputusan hakim atau pihak berwajib lain yang berwenang tentang pewarisan yang bersangkutan, surat keterangan dokter dan bukti lain yang dianggap perlu, guna pengesahan fakta kematian yang terjadi. 4. Korban cacat tetap atau cedera, proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang berwenang, surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap/cedera yang telah terjadi akibat kecelakaan lalu lintas yang bersangkutan, dan surat bukti lain yang dianggap perlu, untuk pengesahan fakta cacat tetap/cedera yang terjadi. Pembayaran dana dapat pula dilakukan berdasar surat-surat bukti/kenyataan-kenyataan lain, selain surat bukti di atas, apabila Direksi PT Jasa Raharja telah mendapatkan keyakinan tentang keabsahan tuntutan. Ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh para korban atau ahli warisnya dalam usaha mendapatkan dan menikmati jaminan pertanggungan kecelakaan diri adalah: 1. Menghubungi kantor Jasa Raharja terdekat 2. Mengisi formulir pengajuan dengan melampirkan : a. Keterangan kecelakaan lalu lintas dari kepolisian dan atau dari instansi berwenang lainnya. b. Keterangan kesehatan dari dokter / RS yang merawat. c. KTP / Identitas korban / ahli waris korban. Ketentuan lain yang perlu diperhatikan oleh korban adalah mengenai adanya batasan waktu pengajuan permohonan penerimaan uang santunan, yaitu jika: 1) Permintaan diajukan dalam waktu lebih dari 6 bulan setelah terjadinya kecelakaan. 2) Tidak dilakukan penagihan dalam waktu 3 bulan setelah hak dimaksud disetujui oleh jasa raharja Selain itu bukti lain yang diperlukan adalah: 1) Kuitansi biaya rawatan dan pengobatan yang asli dan sah bagi korban yang hanya mengalami luka-luka. Surat kartu keluarga/surat nikah (bagi yang sudah menikah), apabila korban meninggal dunia. D. Premi dan Evenemen Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Premi dalam hukum asuransi ialah sejumlah uang yang dibayar tertanggung kepada penanggung sebagi imbalan risiko yang ditanggungnya. Jumlah yang berlaku sebagai premi dalam Askel dan Askep adalah sumbangan wajib. Istilah evenemen diadopsi dari bahasa Belanda evenement, yang berarti peristiwa tidak pasti, secara luas pengertian evenemen dapat dirumuskan sebagai peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan kerugian. Dalam Askep yang dimaksud dengan peristiwa tidak pasti adalah kecelakaan penumpang alat angkutan umum, yang mengancam keselamatan penumpang sebagai tertanggung. Apabila kecelakaan benar-benar terjadi, sehingga mengakibatkan penumpang meninggal, cacat atau luka-luka, kerugian inilah yang wajib diganti oleh PT Jasa Raharja. Peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam Askel adalah kecelakaan lalu lintas jalan, yang mengancam pihak ketiga yang berada di luar alat angkutan yang menjadi korban kecelakaan itu. Akan tetapi, perlu diingat bahwa ancaman bahaya kecelakan lalu lintas jalan yang menjadi beban penanggung itu tidak ada, sehingga pembayaran dana kepada korban juga tidak ada dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 13 PP No. 18 Tahun 1965 berikut ini: 1. Bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau ahli warisnya. 2. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban dalam keadaan mabuk atau tidak sadar, melakukan perbuatan kejahatan, ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban mempunyai cacat badan atau keadaan badaniah/rohaniah luar biasa lain. 3. Kecelakaan yang terjadi tidak langsung disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor atau kereta api yang bersangkutan dalam fungsinya sebagai alat angkutan lalu lintas jalan, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut: a. Alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan sedang dipergunakan untuk turut serta dalam sesuatu perlombaan kecakapan atau kecepatan. b. Kecelakaan terjadi pada waktu di dekat alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan, ternyata ada akibat-akibat gempa bumi atau letusan gunung berapi, angin puyuh atau sesuatu gejala geologi atau meteorologi lain. c. Kecelakaan, akibat dari sebab yang langsung atau tidak langsung mempunyai hubungan dengan perang, bencana perang atau sesuatu keadaan perang lainnya, penyerbuan musuh sekalipun Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang turut berperang pendudukan, perang saudara, pemberontakan, huru-hara, pemogokan dan penolakan kaum buruh (uitsluiting van werklieden), perbuatan sabot, perbuatan teror, kerusuhan atau kekacauan yang bersifat politik atau bersifat lain; d. Kecelakaan, akibat dari senjata-senjata perang. e. Kecelakaan, akibat dari sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan sesuatu perintah, tindakan atau peraturan dari pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau asing yang diambil berhubungan dengan sesuatu keadaan tersebut di atas, kecelakaan akibat dari melalaikan sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan tersebut. f. Kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan yang dipakai, atau dikonfiskasi, atau direkwisisi, atau disita untuk tujuan-tujuan tindakan angkatan bersenjata seperti tersebut di atas. g. Kecelakaan yang terjadi sebagai akibat reaksi inti atom. E. Asuransi Ditinjau Dari Aspek hukum Islam Menurut pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) disebut bahwa, "Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikuti diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang tidak diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu pristiwa yang tak tertentu". Asuransi pada umumnya adalah seatu persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uamh premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu pristiwa yang belum jelas akan terjadi. Asuransi pada umumnya – termasuk asuransi jiwa – menurut pandangan Islam adalah termasuk masalah ijtihadiyah. Artinya masalah yang perlu dikaji hukum agamanya berhubungan tidak ada penjelasan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan Hadis secara eksplisit. Para imam mazhab seperti Abu Hanifah (wafat 150 H/767 M), Maliki (wafat 241 H/795 M), Syafi'i (wafat 204 H/819 M), Ahmad (wafat 241 H/ 855 M), dan ulama mujtahidin lainnya yang semasa dengan mereka (abad II dan III H/VIII dan IX M) tidak memberi fatwa hukum terhadap masalah asuransi, karena asuransi belum dikenal pada waktu itu, sebab sistem asuransi di dunia Timur baru dikenal pada abad XIX Masehi, sedangkan di dunia Barat sekitar abad XIV M. Hukum Islam adalah hukum yang sistematis, jelasnya, hukum Islam mengandung doktrin yang lengkapyang saling berkaitan. Setiap institusi ada hubungannya dengan institusi yang lain; contohnya, bagian utama dari hukum perjanjian (kontrak) dan tanggung jawab diuraikan melalui perbandingan dengan perjanjian dalam urusan jual-beli. Lebih lanjut lagi, hukum itu pada kesekuruhannya diakui oleh hukum agama dan hukum moral; setiap institusi, perniagaan atau tanggungan ditentukan oleh hukum agama dan hukum moral; seperti pengharaman riba, pengharaman terhadap jual-beli sesuatu yang tidak pasti, memberatkan tentang cara yang adil atau sama (mithl). Ini lah ketentuan yang diterapkan untuk memastikan segala urusan dilakukan dengan adil dan untuk menghindari sembarang usaha mencari kekayaan secara tidak adil melalui usaha orang lain. Hukum moral, baik dan buruk, betul dan salah yang melibatkan tingkah laku manusia digolongkan kepada beberapa katagori. Ini juga tergambar dalam kegiatan perniagaan dalam bentuk atau istilah pertama sahih, sah, seandainya asalnya (asl) dan keadaannya (wasf) selaras dengan kehendak hukum. Kedua, makruh, tidak disukai, seandainya asalnya dan keadaannya selaras dengan kehendak hukum, tetapi hal itu ada sedikit hubungannya dengan yang diharamkan. Ketiga, fasid, rusak, seandainya asalnya selaras dengan hukum, tetapi keadaanya tidak selaras. Keempat, batil, tidak sah. Perbedaan antara fasid dengan batil tidak diperhatikan oleh sebagian mazhab. Contohnya, Mazhab Syafi’i, berpegangan pada pendapat bahwa sesuatu perniagaan apakah sah atau tidak sah dan menggunakan perkataan fasid, baik dengan kata batil atau tidak sah . Alasan-alasan yang dikemukan di atas telah dijawab oleh golongan modern yang mempertahankan asuransi. Jawaban mereka adalah : a. Asuransi bukan merupakan perjudian dan bukan juga pertaruhankarena asuransi berdasarkan konsep kepentingan bersama dan saling berkerja sama, sedangkan perjudian adalah permainan yang bergantung pada nasib. Oleh karena itu, perjudian merusak masyarakat tetapi asuransi merupakan suatu kemudahan untuk seseorang sebagai persiapan untuk menghadapi bahaya yang mengancam hidup dan hartanya, serta mendatangkan manfaat pada perdagangan dan industri. b. Ketidak pastian dalam perniagaan dilarang oleh Islam karena perbuatan itu dapat menimbulkan perselisian, Oleh karena itu unsur ketidakpastian amat sukar untuk dihindarkan terjadinya dalam urusan transaksi dalam kehidupan modern kini, maka larangan Rasulullah Saw. Itu ditafsirkan hanya untuk keadaan ketidakpastian yang tajam umpamanya permainan judi. Berdasarkan penafsiran dapatlah dikatakan bahwa asuransi adalah sesuatu yang pasti, lebih-lebih lagi apabila disertai dengan ganti rugi yang telah ditentukan. Sesungguhnya, ganti rugi dalam asuransi merupakan jaminan yang dirasakan oleh pihak tertanggung sebagai kebalikan untuk setiap tanggungan asuransinya. c. Asuransi jiwa bukanlah satu rencana untuk mengatasi kekuasaan Tuhan karena pihak asuransi tidak menentukan bahwa suatu perkara yang belum terjadi itu pasti akan terjadi, tetapi ia hanya membayar ganti rugi kepada tertanggung yang menghadapi kemalangan atau kerugian tertentu. Ini adalah satu gerakan kerja sama untuk meringankan beban kerugian akibat suatu kemalangan dan kenyataan ini didukung dengan ayat Al-Qur’an: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Ma’idah [5] 2). Tidak dipungkiri bahwa kematian juga merupakan suatu kemalangan, untuk hal yang demikian itu, suatu usaha patut dilakukan untuk mengurangi beban kerugian yang dihadapi yaitu dengan memberi bantuan dan tanggungan bersama. sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الآثِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" ( Al-Ma’idah [5] 106). d. Tentangan atas unsur kekaburan dalam asuransi jiwa yakni pihak tertanggung tidak mengetahui beberapa kali pembayaran angsuran tanggungan yang dapat dilakukannya sampai ia mati adalah tidak beralasan. Menurut ulama fuqaha mazhab Hanafi, perlu dibuat perbedaan antara perkara-perkara yang tidak mempengaruhi keutuhan perjanjian. Tidak seperti di atas, kekaburan pengetahuan terhadap pembayaran angsuran dalam asuransi jiwa sedikit pun tidak menentukan sah atau tidak sahnya perjanjian tersebut dan tidak menimbulkan prasangka pada pihak mana pun kerena jumlah untuk setiap kali pembayaran angsuran dan jumlah setelah kesemua bayaran diselesaikan akan diberitahukan. e. Penentangan terhadap riba dalam asuransijiwa dianggap kecil saja karna pihak tertanggung dapat memilih untuk menolakpembayaran ganti rugi yang lebih dari pembayaran engsurannya. Demikian juga tidak seharusnya ada penentangan terhadaporang yang mengikat perjanjian dengan perusahaan asuransi dan terhadap investasi uang mereka yang dijalankan secara bunga karena orang yang mengambil asuransi itu haruslah mematuhi undang-undang. Inilah secara ringkas hujah-hujah golongan modern yang mempertahankan kebolehan asuransi dan untuk menguatkan alasan, mereka mengatakan bahwa aqd al-muwalat yang ada dalam Islam selaras dengan asuransi tanggungan. Perlu diingatkan bahwa seseorang itu mengasuransikan dirinya bukan sekedar karena menghadapi kerugian akibat kematiannya, kecelakaan, atau kerusakan harta, tetapi juga untuk menghadapi kerugian tanggungan yang menimpa pihak ketiga, dan aqd al-muwalat yang demikian dapat memenuhi tujuan tersebut. Ini merupakan suatu perjanjian yang diterapkan apabila seseorang yang warisnya tidak diketahui, berkata kepada seseprang yang lain: “Anda adalah pemelihara saya dan bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi seandainya saya melakukan sesuatu kesalahan, dan sebagai ganjaranya, seandainya saya mati anda berhak mewarisi harta saya.” Jika tawaran ini diterima, kedua belah pihak akan terikat dengan perjanjian yang dibuat. Oleh karena itu, asuransi tanggungan juga dibolehkan dalam Islam. Bukan ini saj, malah masih adalagi contoh yang lain, yaitu bay’ bil-wafa’ (jual-beli dengan janji); yaitu satu bentuk perjanjian yang dapat diwujudkan dengan alasania diperlukan. Contoh akhir yang tidak kurang pentingnya adalah tindakan yang dibuat oleh khalifah Umar untuk kepentingan umat Islam dengan berdasarkan keperluannya untuk keadaan tertentu pada masa pemerintahannya, walaupun tindakan itu menyimpang dari zahir ayat Al-Qur’an, yaitu beliau membatalkan hak bagian zakat yang patut diberilkan kepada mu’alaf dan menggantungkan hukum atas pencuri pada tahun Kebuluran (Paceklik). Hujah-hujah yang dikemukakan diatas tadi adalah pertentangan pendapat antara dua aliran pemikirn. Ibnu ‘Abidin pengaran buku Radd al-Mukhtar telah menyelesaikan menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri. Di bawah judul muta’min, yaitu orang yang dilindungi hanya satu bab dalam buku tersebut, dia menjelaskan apabila pedagang-pedagang asing memasuki Dar al Islam atau kawasan muslimin dengan jaminan aman berarti ada jaminan keselamatan untuk urusan niaga mereka dilakukan secara asuransi. Perlindungan yang diberikan kepada mereka menyebabkan tidak ada muslim yang dapat memperlakukan mereka menurut sesuka hatinya dan ada muslim yang dibolehkan untuk membuat perjanjian dengan mereka, seandainya perjanjian itu tidak diperbolehkan antara dirinya dengan muslim yang lain. Dia juga tidak dapat menuntut sesutau yang diharamkan dalam Islam dari mereka. Selanjutnya, Ibnu ‘Abidin menerangkan bahwa pedagang-pedagang muslim menyewa sebuah kapal kepunyaan harbi, (seseorang penduduk negara bukan Islam), pedagang-pedagang Muslim itu hendak membayar harga sewaan kapal kepadanya dan membayar uang untuk tujuan asuransi kepada seorang harbi yang lain (penengung asuransi), dengan syarat, sebagai imbalannya, dia yang akan membayar ganti rugi untuk kerusakan yang mungkin terjadi pada barang-barang dagangan mereka yang dimuat dikapal tersebut. Agen pihak penanggung asuransi itu tinggal di kawasan mereka (yaitu didalam negeri Islam) sebagai orang yang dilindungi (musta’min), untuk menerima bayaran asuransi dan membayar ganti rugi jika terjadi kersakan. Urusan niaga seperti ini dilarang oleh Islam dengan alasan urusan itu terjadi dalam negeri Islam yang menerapkam hukum Islam serta melarang perkara ini, lebih-lebih dalam Islam, seseoarang Muslim tidak membenarkan menerima bayaran dari orang yang dilindungi (musta’min) jika pembayaran itu bukan menjadi kewajiban Ibnu ‘Abidin membantah urusan niaga seperti yang diatas tadi karena pemegang amanah dibayar berupa deposito kemudian dia dibebankan tanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi. Adalah tidak patut dia yang juga menjadi penanggung jawab asuransi dibebani dengan tanggung jawab ini karena barang-barang muatan yang diasuransikan itu bukan berada dalam kapal kepunyaannya, tetapi kepunyaan yang lain. Sebaliknya pula pemilik kapal itu penanggung asuransi atau pemegang amanah yang menerima pembayaran, dia tidak seharusnya bertanggung jawab untuk memberi perlindungan terhadap kematian, karam, dan sebagainya. Menurut dia penanggung jawab asuransi itumelainkan seandainya dia didapati bersalah karena melakukan penipuan. Untuk menjelaskan masalah ini lagi, beliau membuat satu contoh yaitu seorang berkata kepada seorang yang lain: “Berlayarlah dengan cara ini niscaya anda akan selamat.” Dam hal ini, orang yang berkata begitu tidak dapat dibebbani tanggung jawab seandainya harta kedua hilang. Tetapi berbeda pulakeadaannya jika orang yang berkata itu telahmengetahui nan itu menempuh berbagai bahaya, maka dia nertanggung jawab untuk membayar harta kerugian karena dalam hal ini dia sengaja membuat penipuan. Terkhir, dia berpendapat bahwa jika satu perjanjian asuransi dilakukan diantara dua orang yang bekerja sama dalam perniagaan antara seorang Muslim dan bukan Muslim; perjanjian asuransi itu silakukan dikediaman Muslim, di negara Islam, dan perusahaan asuransi itu juga menjalankan perniagaanya di negara bukan Islam, kemudian polis asuransi itu dikirimkan kepada rekan kongsi yang muslim, dia diperbolehkan untuk menerimanya. Jika perjanjian asuransi dibuat di negeri rekan kerja sama yang bukan Muslim itu tidak dilarang dan orang yang membayat uang polis telah membayarnya dengan rela tanpa bantahan, dalam hal ini, pembayaran kepada reka nkerja sama yang Muslim itu tidak dilarang, tetapi jika terjadi sebaliknya adakah dilarang yaitu jika perjanjian itu dilarang dilakukan dinegeri Islam, walaupun uang itu dibayar di Dar al Harb. BAB III HUKUM KEPEMILIKAN DAN KEWARISAN ISLAM A. Kepemilikan Menurut bahasa pemilikan (hak milik) berarti penguasaan terhadap sesuatu, juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Menurut istilah ialah hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’ yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga seseorang dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya larangan syara’. Menurut madzhab Hanafi harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Menurut definisi ini harta memiliki dua unsur: a. Harta dapat dikuasai dan dipelihara. Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dikatakan harta. b. Harta dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan. Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan basi, tidak dapat disebut harta. Menurut jumhur ulama fiqih selain madzhab Hanafi, harta adalah segala yang bernilai dan bersifat harta. Benda yang dapat diraba jumhur ulama dan madzhab Hanafi sepakat dapat disebut harta, perbedaan pendapat antara jumhur dan madzhab Hanafi terletak pada benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Jumhur ulama berpendapat manfaat bisa disebut harta, sedangkan madzhab Hanafi berpendapat manfaat bukan harta, tetapi bisa dimiliki. Pemilik harta bebas untuk bertindak hukum terhadap hartanya seperti jual beli, hibah, waqaf dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syara’. Contoh halangan syara’ antara lain orang itu belum cakap bertindak hukum, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang, seperti orang pailit sehingga dalam keadaan tertentu mereka tidak dapat bertindak hukum terhadap miliknya sendiri. B. Harta Peninggalan 1. Definisi Harta Peninggalan Harta peninggalan ialah semua yang dimiliki sebelum meninggal, baik berupa benda maupun hutang, atau berupa hak atas harta. Selain itu ada yang menyebutkan harta peninggalan ialah hak yang dimiliki mayit karena kematiannya, seperti diyat (denda) bagi pembunuhan atas dirinya. Menurut ulama Hanafiyah harta peninggalan (tirkah) ialah harta yang ditinggalkan oleh mayit secara mutlak, sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, harta peninggalan meliputi semua harta yang ditinggalkan mayit, baik harta benda maupun hak bukan harta benda. 2. Macam-macam Harta Peninggalan a. Harta yang berwujud benda, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak, Contoh benda bergerak piutang-piutang mayit yang menjadi tanggungan orang lain, diyah wajibah (denda wajib) yang dibayar kepada mayit oleh pembunuh yang melakukan pembunuhan karena khilaf. b. Hak-hak yang bukan berbentuk benda, harta peninggalan ini dibagi menjadi beberapa bentuk: 1. Hak-hak kebendaan, dari segi haknya tidak dalam rupa benda/harta tetapi karena hubungannya yang kuat dengan harta diniliai sebagai harta, seperti hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi pertanian, perkebunan dan lain sebagainya. 2. Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut pribadi mayit, seperti hak mencabut pemberian kepada seseorang. 3. Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut dengan kehendak mayit, seperti hak khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan sebuah transaksi). 4. Hak-hak bukan berbentuk benda dan menyangkut pribadi seseorang, seperti hak ibu untuk menyusukan anak. Harta yang berwujud ulama sepakat hukumnya dapat diwariskan, sedangkan hak-hak yang bukan berbentuk benda terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama yaitu: 1. Ulama sepakat dapat diwariskan, yaitu hak-hak kebendaan yang dapat dinilai dengan harta seperti hak melewati jalan. 2. Ulama sepakat tidak dapat diwariskan, yaitu hak-hak yang bersifat pribadi, seperti hak pemeliharaan dan hak kewalian ayah atas anak. 3. Ulama berselisih pendapat tentang kelegalan pewarisnya, yaitu hak-hak yang tidak bersifat pribadi dan tidak pula bersifat kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah. Cakupan tirkah dari definisi ulama Hanafiyah adalah tirkah mencakup kebendaan dan sifat yang mempunyai nilai kebendaan serta hak-hak kebendaan saja, sedangkan pengertian dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali mencakup semua bentuk tirkah di atas, kecuali hak-hak yang bersifat pribadi. Ditegaskan oleh para ulama bahwa istilah kewarisan merupakan gabungan dari berbagai istilah dalam bahasa Arab, yaitu al-Irs, al-Faraid, dan At-Tirkah. Yang mana pada intinya mempunyai arti sama, yakni mewariskan sesuatu kepada orang lain. 1. Al-Irs Al-Irs dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata ورث يرث إرثا ورثا وراثة yang bermakna dasar perpindahan harta milik, atau perpindahan pusaka setelah meninggal dunia. Berangkat dari makna dasar ini, maka dari segi makna yang lebih luas, kata al-Irs mengandung arti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau perpindahan sesuatu dari suatu kaum kepada kaum lainnya, baik berupa harta, ilmu atau kemuliaan. 2. Al-Faraid Al-Faraid dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata Faridah yang berarti ketentuan-ketentuan bagian ahli waris. Dengan demikian, dalam konteks kewarisan, kata faraid dimaknai sebagai pengalihan harta pewaris kepada ahli warisnya dengan bagian yang pasti. 3. At-Tirkah At-Tirkah dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata tunggal taraka, yang bermakna Maf'ul (objek) yang berarti matrukah (sesuatu yang ditinggalkan). Tirkah menurut bahasa yaitu sesuatu yang ditinggalkan dan disisakan oleh seseorang. Sedangkan menurut istilah, tirkah adalah seluruh yang ditinggalkan mayit berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak. Dari berbagai definisi yang telah diterangkan di atas, dapatlah ditarik suatu pengertian bahwa kewarisan adalah perpindahan berbagai hak dan kewajiban atas kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup. Adapun dasar hukum dari adanya kewarisan, al-Qur'an telah menyebutkan istilah-istilah di atas, yang menunjukkan adanya kewarisan. Kata al-Irs, al-Faraid, dan At-Tirkah, terulang 22 kali dalam al-Qur'an dalam berbagai bentuknya, akan tetapi pembahasan ini hanya kami batasi pada lima ayat yang teks selengkapnya sebagai berikut: لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا ( النساء:۷) "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak” (Q.S. an-Nisa' [4]:7). ... فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ... مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ ...( النساء: ۱۱) "Dan untuk dua orang ibu bapak masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan…. Maka bagi mereka seperenam dari peninggalanmu…." (Q.S. an-Nisa'[ 4]:11). وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (النساء:۱۲) "Dan bagimu (suami istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah dibayar hutangnya. Para istri mempunyai seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai. Jika mempunyai anak maka istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan atau sesudah dibayar hutang-hutangmu" (QS. an-Nisa'[4]:12). وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ ... ( النساء:۳۳ ) "…. Untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan), kami adakan ahli waris dari harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang terdekat …. (an-Nisa'[ 4]:33). وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ..فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ... (النساء: ۱۷٦ ) "….dan ada baginya saudara perempuan itu seperdua dari harta peninggalannya…. Maka untuk keduanya sepertiga dari peninggalan saudaranya …. (an-Nisa'[ 4]:176). Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, dapatlah diambil beberapa garis hukum antara lain sebagai berikut: a. Surat al-Nisa' ayat 7, di dalamnya terdapat beberapa garis hukum di antaranya adalah: 1) Bagi anak laki-laki dan perempuan akan mendapat bagian warisan dari harta peninggalan kedua orang tuanya. 2) Bagi keluarga dekat terdapat bagian warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya. b. Surat al-Nisa' ayat 11 dan 12, garis hukum yang dapat diambil adalah: 1) Ketentuan-ketentuan bagian setiap ahli waris yang berhak diterima sesuai dengan tingkatan dan golongannya. 2) Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh ahli waris sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris. c. Surat al-Nisa' ayat 33 dan 176, di antara garis hukum yang terdapat di dalamnya adalah: 1) Ketentuan mengenai ahli waris pengganti. 2) Penegasan dan penjelasan mengenai pengertian kalalah dan tata cara pembagian harta waris, dengan adanya kalalah tersebut. Dari uraian di atas, kiranya dapat dikemukakan bahwa kewarisan yang terdiri atas al-Irs, al-Faraid, dan At-Tirkah, sebagaimana terdapat dalam kelima ayat tersebut, mempunyai unsur yang berbeda. Istilah yang pertama mangacu kepada sebab terjadinya kewarisan dengan unsur utamanya adalah hubungan perkawinan, hubungan nasab dan hubungan wala'. Istilah kedua mengacu kepada format bagian yang akan diterima oleh ahli waris, yakni 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3. Adapun istilah yang ketiga mengacu kepada kewajiban pewaris yang harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta pusakanya dibagi oleh ahli warisnya yakni harus dikeluarkan biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, atau pemenuhan wasiat. Meskipun konsep kewarisan mengacu kepada tiga istilah dengan unsur-unsur yang berbeda, seperti telah dijelaskan di atas, namun apabila unsur-unsur tersebut dibawa kepada makna kewarisan secara umum, terlihat bahwa unsur kewarisan mengacu kepada tiga hal. Yakni, siapa yang menjadi pewaris, siapa yang akan menjadi ahli waris, dan bagaimanakah kedudukan harta peninggalan pewaris. Sedangkan dari beberapa hadis yang menjelaskan tentang kewarisan dalam Islam di antaranya adalah: جائت إمرأة سعد ابن الربيع بإبنتيها من سعد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسول الله هاتان إبنتا سعدابن الربيع قتل ابوهما معك يوم احد شهيدا وإن عمهما أخذمالهما فلم يدع لهما مالا ولا تنكحان إلا ولهما مال. قال: يقضى الله فى ذلك. فنزلت أية الميراث فبعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عمهما فقال: أعط إبنتي سعد الثلثين وأعط أمهما الثمن وما بقي فهو لك عَنْ عَبْدُ الله بِنْ عَمْرُوبِنْ العاص رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ : اَلْعِلْمُ شَلاَشَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَضْلٌ: ايةٌ مُحْكَّمَةٌ وَسُنَّةٌ قَائِمَةٌ وَفَرِيْضَةٌ عَادِلَةٌ Abdullah bin Amr bin Al-Ash r.a. berkata bahwa Nabi saw. Bersabda, "Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (skunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. Yang dilaksanakan, dan ilmu faraidh".(HR Ibnu Majah) Hadis tersebut merupakan asbabun nuzul turunnya ayat kewarisan. Dalam asbabun nuzul ayat tersebut diterangkan bahwa isteri Sa'ad bin al-Rabi' menghadap Rasulullah dan berkata: Ya Rasulallah, kedua puteri ini anak Sa'ad bin al-Rabi' yang menyertai tuan dalam perang uhud dan ia telah gugur sebagai syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya dan tidak meninggalkan sedikitpun, sedang kedua anak ini sukar mendapat jodoh kalau tidak berharta." Rasulullah menjawab: "Allah akan memutuskan persoalan tersebut." Maka turunlah ayat hukum pembagian waris seperti tersebut di atas. C. Syarat dan Rukun Pewarisan Islam Fungsi adanya kewarisan adalah untuk menggantikan kedudukan kepemilikan harta benda antara seseorang yang meningal dunia dan orang yang ditinggalkannya. Pengertian tersebut tidak akan pernah terjadi apabila orang yang akan digantikan kedudukannya masih hidup, dan berkuasa penuh terhadap harta miliknya, atau orang yang akan menggantikannya tidak ada. Oleh karena itu, ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam sistem kewarisan Islam. Syarat-syarat kewarisan dalam Islam adalah: 1. Meninggalnya pewaris Pewaris telah benar-benar meinggal dunia. Apakah meninggal secara hukmy atau hakiki. Disyaratkannya pewaris meninggal dunia dengan alasan bahwa orang yang masih hidup mempunyai kuasa penuh terhadap harta yang dimilikinya, namun apabila telah meninggal dunia, maka secara otomatis harta tersebut berpindah kepemilikannya kepada orang-orang yang telah menjadi ahli waris. Manusia dipandang telah meninggal dunia apabila diketahui telah menghembuskan nafas terakhir. Hal ini ditetapkan berdasarkan persaksian orang yang hadir pada saat meninggalnya, sesuai dengan syara'. Ataupun pewaris dipandang telah meninggal oleh pengadilan, apabila hakim telah menetapkan kematian seseorang yang hilang dan tidak diketahui tempat keberadaannya. 2. Hidupnya ahli waris Ahli waris benar-benar masih hidup atau dalam keadaan hidup ketika pewaris meninggal dunia atau dengan putusan hakim dinyatakan masih hidup. Jadi apabila seseorang yang saling mewarisi mati secara bersama-sama dan tidak diketahui mana yang lebih dulu meninggal dunia, maka di antara mereka tidak terjadi waris mewarisi. 3. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab mewarisi pada ahli waris atau dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris yang bersangkutan berhak atas harta waris. Syarat ketiga ini disebutkan atas suatu penegasan yang diperlukan terutama dalam pengadilan, meskipun secara umum telah disebutkan dalam seba-sebab kewarisan. Ada yang menambahkan syarat keempat yaitu tidak terdapat penghalang untuk mendapatkan harta waris. Adapun rukun-rukun kewarisan dalam Islam adalah sebagai berikut:. 1. Pewaris Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal dunia berdasarkan keputusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan. Meninggalnya pewaris merupakan kondisi untuk terbukanya harta warisan, Karenanya meninggalnya pewaris harus nyata adanya. Apabila tidak jelas kematiannya dan tidak ada pula berita tentang hidupnya, maka hartanya tetap menjadi miliknya yang utuh sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya. Kematian pewaris, menurut para fuqaha', dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: a. Mati hakiki, artinya tanpa melalui pembuktian, sudah dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia. b. Mati hukmi, adalah seseorang yang secara yuridis melalui keputusan hakim dinyatakan meninggal dunia. Hal ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadaannya. Melalui keputusan hakim, setelah melalui upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal. c. Mati taqdiri, yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang atau tujuan lain yang secara lahiriah mengancam keselamatan dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal dunia, maka dapat dinyatakan bahwa ia telah meninggal. Mengenai orang yang hilang, pada sub (2), para ulama telah sepakat menetapkan bahwa harta dari pewaris yang hilang, ditahan dulu sampai ada berita yang jelas. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai sampai kapan penangguhan dilakukan, apakah ditetapkan berdasarkan perkiraan saja, atau diserahkan kepada ijtihad hakim?. Ada dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum orang yang hilang, yakni: a. Berdasarkan bukti-bukti otentik yang dapat diterima secara Syari'at Islam, seperti melalui saksi. b. Berdasarkan batas waktu lamanya bepergian. D. Ahli Waris Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawnian dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dalam batasan pengertian, ahli waris ialah orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Di samping itu, mereka baru mendapat warisan dengan terpenuhinya dua ketentuan, yaitu harus beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dalam hukum kewarisan Islam, bagian untuk seorang ahli waris sering tidak tetap, berubah-ubah menurut keadaan ahli waris. Bagian masing-masing ahli waris yang akan penyusun paparkan di sini berdasarkan jenis kelamin masing-masing ahli waris: 1. Suami a. 1/4 harta waris, apabila pewaris meninggalkan anak yang berhak mewarisi. Anak di sini termasuk cucu dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Anak tersebut baik yang diperoleh dari suami terdahulu atau dari suami yang ditinggalkan itu. Misalnya, apabila ahli waris hanya terdiri dari suami dan dua anak laki-laki, maka suami mendapat 1/4 bagian harta warisan. b. 1/2 harta warisan, apabila mewarisi tidak bersama-sama dengan anak atau cucu yang berhak mewarisi. 2. Ayah a. 1/6 harta warisan, apabila ayah bersama-sama dengan anak atau cucu (dari anak laki-laki). b. Asabah, apabila tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki. c. 1/3 harta warisan dan asabah, apabila mewarisi bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. 3. Kakek Bagian kakek sama dengan ketentuan bagian ayah, apabila ayah tidak ada. Karena apabila ayah ada, maka kakek terhijab oleh ayah. Kakek memperoleh bagian harta warisan seperti bagian ayah, didasari oleh pengertian dalam bahasa Arab, bahwa ayah (abu) mencakup juga untuk kakek dan seterusnya ke atas. Namun ada sedikit perbedaan antara kedudukan dan bagian antara kakek dan ayah, yaitu kakek tidak bisa menghijab saudara sekandung atau seayah. 4. Anak laki-laki Anak laki-laki adalah ahli waris asabah yang terkuat, karena tidak ada seorang pun yang dapat menghijabnya, anak laki-laki dapat menarik anak perempuan menjadi asabah dengan perbandingan 2:1 untuk anak laki-laki. 5. Cucu laki-laki pancar laki-laki Ketentuan tentang cucu laki-laki ada empat macam: a) Tidak dapat menarik anak perempuan menjadi asabah. b) Dapat menarik cucu perempuan dari anak laki-laki menjadi asabah. c) Cucu laki-laki yang lebih bawah tingkatannya dapat menarik cucu perempuan yang lebih tinggi tinggkatannya menjadi asabah, apabila cucu perempuan terhalang untuk memperoleh warisan. d) Cucu laki-laki terhijab oleh anak laki-laki, dan cucu laki-laki yang lebih rendah terhijab oleh cucu laki-laki yang lebih tinggi. Cucu laki-laki menjadi ahli waris berdasarkan perluasan makna walad (anak) dalam al-Qur'an. 6. Suadara laki-laki sekandung Saudara laki-laki sekandung adalah ahli waris asabah dengan ketentuan sebagai berikut: a) Bila tidak ada ahli waris yang lain, maka saudara laki-laki sekandung mewarisi seluruh harta warisan. b) Dapat menarik saudara perempuan sekandung untuk bersama-sama menjadi asabah. Saudara laki-laki sekandung terhijab oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. 7. Saudara laki-laki seayah Saudara laki-laki sekandung adalah ahli waris asabah dengan ketentuan sebagai berikut: a) Dapat menarik saudara perempuan seayah untuk bersama-sama menjadi asabah. b) Saudara laki-laki seayah terhijab oleh saudara laki-laki sekandung dan oleh saudara perempuan sekandung yang menjadi asabah ma'al ghair. 8. Saudara laki-laki seibu a) 1/6 harta warisan, apabila hanya seorang dan tidak bersama-sama dengan ayah, kakek, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. b) 1/3 harta warisan, apabila saudara laki-laki seibu dua orang atau lebih dan tidak bersama-sama dengan ayah, kakek, anak, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. c) Saudara laki-laki seibu terhijab oleh ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki. 9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung: a) Tidak dapat menarik ahli waris yang lain menjadi asabah. b) Terhijab oleh saudara laki-laki seayah, ahli waris yang menghijab saudara laki-laki seayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung menjadi ahli waris berdasarkan perluasan pengertian saudara dalam al-Qur'an, karena apabila tidak ada lagi saudara, maka anak laki-laki saudara laki-laki sekandung menggantikan ayahnya. 10. Anak laik-laki saudara seayah Ketentuan tentang bagian anak laki-laki saudara seayah adalah sama dengan ketentuan anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, tetapi anak laki-laki saudara seayah terhijab oleh anak laki-laki saudara laki-laki sekandung. 11. Paman sekandung Paman sekandung menjadi ahli waris asabah, namun paman sekandung mempunyai dua ketentuan: a) Tidak dapat menarik ahli waris yang lain menjadi asabah. b) Paman sekandung terhijab oleh ahli waris yang menghijab anak laki-laki, saudara laki-laki seayah, dan anak laki-laki saudara itu sendiri. 12. Paman seayah Paman seayah adalah ahli waris asabah yang ketentuannya sama dengan paman sekandung di atas, namun paman seayah terhijab oleh paman sekandung. 13. Anak laki-laki paman sekandung Paman laki-laki sekandung adalah ahli waris asabah dengan ketentuan sebagai berikut: a) Tidak dapat menarik ahli waris yang lain menjadi asabah secara bersama-sama. b) Terhijab oleh ahli waris paman seayah dan yang menghijab paman seayah. 14. Anak laki-laki paman seayah Ia merupakan ahli waris asabah yang ketentuannya sama dengan anak laki-laki paman sekandung, namun ia terhijab oleh anak laki-laki paman sekandung sendiri. 15. Laki-laki yang memerdekakan budak Kemudian ahli waris dan bagian-bagiannya yang berjenis kelamin wanita adalah sebagai berikut: 1. Isteri a) 1/8 harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak yang berhak mewarisi atau bersama cucu dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari anak laki-laki. b) 1/4 harta warisan, apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu. Isteri sebagai ahli waris yang memperoleh bagian 1/8 dan 1/4. 2. Ibu a) 1/6 harta warisan, apabila mewarisi bersama anak, anak laki-laki, atau bersama saudara yang lebih dari seorang. 1/3 harta warisan, apabila tidak bersama anak, cucu, atau saudara yang lebih dari seorang. b) 1/3 sisa, apabila ahli waris hanya terdiri dari ibu, ayah, suami, atau isteri setelah diambil bagian suami atau isteri. 3. Nenek Nenek yang menjadi ahli waris adalah dari garis ibu dan seterusnya ke atas, dan juga dari garis ayah, dengan ketentuan sebagai berikut: a) 1/6 harta warisan baik seorang atau lebih, dari garis ibu maupun ayah. b) Nenek dari garis ayah maupun ibu terhijab oleh ayah dan ibu. c) Nenek dari garis ayah maupun ibu yang lebih dekat dengan pewaris, menghijab ahli waris yang lebih jauh. Nenek menjadi ahli waris berdasarkan perluasan makna yang ada dalam al-Qur'an. 4. Anak perempuan a) 1/2 harta warisan, apabila hanya seorang dan tidak bersama-sama dengan anak laki-laki. b) 2/3 harta warisan, apabila dua orang atau lebih dan tidak bersama-sama dengan anak laki-laki. c) Asabah, jika bersama-sama anak laki-laki, dengan ketentuan 2:1 untuk anak laki-laki. 5. Cucu perempuan dari anak laki-laki Bagian cucu perempuan sama dengan bagian anak perempuan, hanya saja apabila perempuan bersama dua anak perempuan atau lebih, maka ia terhijab. Kecuali cucu perempuan tersebut ditarik oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki menjadi asabah. Cucu perempuan dari anak laki-laki terhijab oleh anak laki-laki dan oleh dua anak perempuan atau lebih apabila tidak ada yang menariknya menjadi asabah. Cucu perempuan dari anak laki-laki menjadi ahli waris berdasarkan perluasan pengertian walad dalam al-Qur'an. 6. Saudara perempuan sekandung a) 1/2 harta warisan, apabila hanya seorang. b) 2/3 harta warisan, apabila dua orang atau lebih. c) Asabah bila bersama saudara laki-laki sekandung dengan ketentuan 2:1 untuk anak laki-laki. d) Terhijab oleh ayah, anak laki-laki, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. 7. Saudara perempuan seayah a) 1/2 harta warisan apabila hanya seorang. b) 2/3 harta warisan bila dua orang atau lebih. c) 1/6 harta warisan bila seorang atau lebih tetapi bersama-sama dengan seorang saudara perempuan, untuk menyempurnakan 2/3. d) Asabah bila bersama saudara laki-laki seayah atau sekakek dengan ketentuan 2:1 untuk anak laki-laki. e) Asabah ma'al ghair bila seorang atau lebih yang mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. f) Terhijab oleh ayah, anak laki-laki, dua orang perempuan sekandung atau lebih apabila tidak ada yang menariknya menjadi asabah, atau seorang saudara sekandung yang berkedudukan sebagai ahli waris asabah ma'al ghair. 8. Saudara perempuan seibu a) 1/6 harta warisan bila hanya seorang b) 1/3 harta warisan bila dua orang atau lebih c) Terhijab oleh ayah, kakek, anak, atau cucu dari anak laki-laki. 9. Perempuan yang memerdekakan budak. Dalam literatur-literatur fiqh dari beberapa mazhab antara lain mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, bahwa yang dimaksud dengan tirkah pada dasarnya secara umum adalah segala apa yang ditinggalkan oleh si mayit berupa harta yang telah bersih dari hak-hak orang lain dan berupa hak-hak yang bernilai harta. Dari definisi di atas, harta peninggalan dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Harta si mayit sebelum meninggal, baik berupa harta benda, hak harta, ataupun hutang. Seperti hak khiyar dalam jual beli, hak syuf’ah, atau hak qisas apabila si mayit dibunuh. 2. Harta yang dimiliki sebab adanya kematian, seperti diyat karena pembunuhan baik sengaja atau salah. 3. Harta yang dimiliki sesudah kematian. Batasan tentang tirkah tersebut di atas, sepanjang penyusun ketahui telah disepakati oleh para imam mazhab. Namun demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka, terutama dalam penilaian apakah sesuatu itu termasuk kategori harta atau tidak, atau tentang apakah suatu hak dianggap bernilai harta atau tidak bernilai harta. Perbedaan tersebut secara ringkas terbagi terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama, kelompok Hanafiyah, yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang harus dipusakakan itu adalah harta yang berupa harta benda. Sedang yang berupa hak-hak tidak dapat dipusakakan kecuali hak-hak tersebut mengikuti kepada bendanya, seperti hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di atas tanah tersebut. Kelompok kedua, adalah ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yang menetapkan bahwa harta peninggalan itu meliputi harta dan semua hak yang ditinggalkan si mayit, baik hak harta benda maupun hak bukan harta benda. Bahkan Imam Malik memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi seperti hak menjadi wali nikah ke dalam keumuman arti hak-hak. Kelompok ketiga, adalah jumhur fuqaha yang menetapkan bahwa tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan si mayit yang mencakup seluruh harta benda dan hak-hak kebendaan serta bukan hak kebendaan, termasuk di dalamnya hutang, baik hutang ainiyah (hutang yang ada kaitannya dengan harta benda) maupun hutang syakhsiyah (hutang piutang yang ada sangkut pautnya dengan penghutang). Sedangkan dalam KHI dijelaskan dalam pasal 171 huruf e bahwa harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Lebih jauh lagi dalam membicarakan tentang hak yang menjadi harta peninggalan, dalam kitab al-Ahwal al-Syakhsiyyah, di sana dijelaskan bahwa di samping hak-hak di atas, istilah tirkah juga mencakup kepada suatu hak yang dimiliki sebab adanya kematian. Seperti diyat pembunuhan yang disengaja atau karena salah, sebagaimana misalnya ketika para wali dari korban menuntut diyat dari para orang yang melakukan pembunuhan sebagai ganti dari qisyas. Maka hukum diyat seperti ini sama dengan hukum sebagian harta yang dapat diwariskan semuanya. Dari keterangan yang telah penyusun kemukakan di atas, maka dapat penyusun simpulkan tentang kriteria sesuatu itu termasuk harta peninggalan atau tidak, yakni: 1) Harta yang berada dalam kepemilikan seseorang semasa hidupnya. 2) Segala hak yang bernilai harta atau yang dapat dinilai dengan harta, baik yang bersifat kebendaan maupun tidak. 3) Harta yang didapatkan setelah wafatnya seseorang sebagai denda atas tindakan penganiayaan atau pembunuhan terhadap dirinya. Harta peninggalan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, belum bisa dibagikan secara langsung kepada ahli waris. Sebab pada harta tersebut masih melekat kewajiban-kewajiban ahli waris yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara harta warisan dan harta peninggalan. Harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dikurangi kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, sedang harta peninggalan adalah harta pewaris sebelum dikurangi kewajiban-kewajiban. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para ahli waris antara lan adalah : 1. Biaya Pengurusan Jenazah Biaya pengurusan jenazah adalah biaya-biaya perawatan yang diperlukan oleh orang yang meninggal dunia, sejak meninggalnya sampai menguburnya, yang meliputi biaya memandikan, mengafani, dan menguburkannya. Jumlah ini haruslah berdasarkan pada jumlah yang wajar sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan oleh ajaran Islam, tidak boleh berlebih-lebihan. Dalam KHI tidak ditentukan kewajiban ahli waris untuk mengurus jenazah dan menyelesaikan pemakamannya, sebagaimana diatur dalam pasal 175 ayat 1 huruf a. 2. Pembayaran Hutang Pewaris Hutang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagaimana imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Pada dasarnya hutang seseorang yang meninggal dunia dibagi menjadi dua: a. Hutang kepada Allah, yaitu kewajiban-kewajiban agama dalam bentuk material yang telah diwajibkan selama ia hidup sampai menjelang datangnya kematian, tetapi belum dilaksanakan, seperti membayar zakat. b. Hutang kepada sesama manusia, hutang dalam bentuk ini terbagi menjadi dua: 1) Hutang yang berkaitan dengan wujud harta peninggalan. 2) Hutang yang tidak berkaitan dengan wujud harta peninggalan. Dalam al-Qur'an tidak disebutkan tentang hutang-hutang secara terperinci dan juga tidak dijelaskan urutan pembagian hutang tersebut. sehingga para fuqaha berbeda pendapat mana yang harus didahulukan. Namun, meskipun demikian, pelunasan hutang pewaris baik hutang kepada Allah, maupun hutang kepada sesama manusia adalah suatu kewajiban bagi ahli waris yang diambil dari harta peninggalan. Dalam KHI telah dijelaskan pula bahwa pembayaran hutang pewaris yang diambil dari harta peninggalan adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh ahli waris (pasal 175 ayat 1 huruf b), namun kewajiban ahli waris tersebut hanya sebatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan pewaris (pasal 175 ayat 2). 3. Menunaikan Wasiat Wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat. Dalam KHI wasiat diartikan sebagai pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Menurut hemat penyusun, kedua definisi di atas, mempunyai maksud yang sama, yaitu memberikan gambaran bahwa pelaksanaan wasiat dilakukan setelah yang berwasiat meninggal dunia. Wasiat adalah keinginan terakhir dari seseorang yang meninggal dunia, maka pelaksanaannya harus didahulukan daripada hak ahli waris. Jumlah wasiat yang harus dibayarkan adalah maksimal 1/3 harta peninggalan setelah dikurangi untuk biaya tahjiz dan hutang-hutang pewaris. Masalah wasiat dalam KHI sudah diatur secara rinci sejak dari pemberi wasiat, harta yang diwasiatkan, penerima wasiat sampai kepada tata cara pembuatan dan pelaksanaan wasiat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 194-209 KHI. Demikianlah kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh ahli waris terhadap harta peninggalan. Oleh karena itu apabila kewajiban ini telah dilaksanakan, maka ahli waris secara hukum telah berhak untuk menerima harta warisan. 1. Hak–hak yang Berhubungan dengan Tirkah Hak-hak yang harus didahulukan sebelum ahli waris menerima bagiannya ada tiga, yang harus dilaksanakan secara tertib (berurutan) yaitu: a. Perawatan Jenazah, sesuai dengan kepentingannya, tidak berlebihan dan tidak menyulitkan orang lain. Termasuk didalamnya biaya memandikan, mengkafankan, menguburkan dan semua kebutuhan untuk meletakkan mayat diliang lahat. b. Membayar hutang, tirkah tidak boleh dibagi kepada ahli waris sebelum hutang mayit dilunasi. c. Pelaksanaan wasiat, wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris, wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari tirkah. BAB IV ANALISA SANTUNAN JASA RAHARJA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Santunan Jasa Raharja Untuk Korban Meninggal Dunia Bagi Penumpang Kendaraan Umum, Pribadi, Dan Diluar Alat Angkutan Lalu Lintas Akibat Pengoperasiannya Akibat dari kecelakaan lalu lintas bagi penumpang kendaraan umum maupun pribadi yang wajib dibayar oleh PT. Jasa Raharja sebagai penanggung ditentukan oleh pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1965, besarnya jumlah dana dalam hal kematian atau cacat tetap, dan penggantian maksimum biaya-biaya pengobatan dokter, serta biaya penguburan ditentukan oleh Menteri keuangan. Sedangkan ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintahan No. 18 Tahun 1965, setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu lintas, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas tersebut, diberi hak atas pembayaran dana kecelakaan lalu lintas. Pembayaran diberikan dalam hal-hal berikut ini: 1. Korban meninggal dunia, dalam waktu 365 hari setelah kecelakaan yang bersangkutan. 2. Korban mebdapatkan cacat tetap, dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan tersebut 3. Biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang dikeluarkan dari hari pertama setelah kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari. 4. Korban meninggal tidak mempunyai ahli waris, kepada pihak yang menyelenggarakan penguburannya diberikan pengganti biaya penguburan. Pemberian santunan kepada ahli waris belum jelas status pemberiannya menurut hukum Islam, sebab ada bermacam-macam pemberian seperti hibah, shadaqah, waqaf, mahar, warisan, tadhmin (pertanggungan), ta’wid (penggantian) dan lain-lain. Santunan Jasa Raharja untuk korban meninggal dunia bagi penumpang kendaraan umum, pribadi, dan diluar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya, diberikan oleh Perusahaan Jasa Raharja kepada ahli waris, ditinjau dari pemberinya yang tidak ada hubungan hukum secara langsung dengan korban juga belum jelas status pemberiannya sehingga belum jelas status hartanya. Hal-hal yang menjadi pertimbangan untuk menentukan status santunan Jasa Raharja yang di berikan kepada korban meninggal dunia bagi penumpang diluar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya, memperhatikan tiga hal yaitu: 1. Tujuan dari pemberi, PT Jasa Raharja bertindak sebagai wakil dari pengendara kendaraan bermotor dalam membayar santunan kepada ahli waris korban meninggal di luar alat angkutan lalu lintas, sebab PT Jasa Raharja adalah penanggung, sedangkan pemilik kendaraan berkedudukan sebagai tertanggung dalam Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas (Askel). Ketentuan yang berlaku dalam Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Askel) adalah penanggung harus mengambil resiko sesuatu yang menjadi evenemen asuransi, dan evenemen dalam Askel adalah kecelakaan yang disebabkan kendaran bermotor tersebut, perpindahan pemilikan seperti ini dalam hukum Islam disebut tadhmin. santunan Jasa Raharja dijadikan sebagai denda atas kesalahan pengemudi menghilangkan nyawa seseorang, dan diberikan kepada ahli waris korban sebagai pihak yang dirugikan. 2. Penerima (ahli waris), diharapkan penerima dapat menjalankan maksud pemberian santunan dari pemberi, selain itu bisa membawa manfaat bagi yang menerima. 3. Sebab pemberian kepada ahli waris, kematian yang ditimbulkan oleh pengoperasian alat angkutan lalu lintas. Adapun dari segi uang santunannya, ada beberapa kesamaan antara uang santuanan Jasa Raharja untuk korban meninggal dunia bagi penumpang kendaraan umum, pribadi, dan diluar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya dengan harta peninggalan (tirkah) yaitu kematian menjadi syarat, santunan Jasa Raharja dapat diserahkan kepada ahli warisnya, adanya ahli waris juga menjadi syarat pemberian santunan kepada ahli waris korban, namun untuk menentukan santunan Jasa Raharja, harus ada dalil khusus yang menunjuk kepada hal tersebut. Dalil menurut bahasa ialah sesuatu yang menunjukkan hal-hal yang dapat dianggap secara indrawi atau ditangkap secara ma’nawi. Sedangkan menurut istilah para ahli ushul fiqh ialah sesuatu yang dipergunakan sebagai petunjuk pandangan yang sehat untuk menetapkan hukum syara’ tentang amal perbuatan manusia secara pasti (qot’i) atau dugaan keras (zhonni). Santunan Jasa Raharja bagi korban meninggal dunia bagi penumpang kendaraan umum, pribadi, dan diluar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya, tidak ada dalil yang khusus menerangkan hal itu, beberapa ayat al-Qur’an yang menetapkan hukum kewarisan, yang mengisyaratkan harta waris menggunakan lafadz ( ما ترك) yang berarti "apa-apa yang ditinggalkan" oleh orang yang meninggal dunia. Kata seperti ini terdapat sebelas kali disebutkan dalam hubungan kewarisan, yaitu dua kali dalam surat an-Nisa' ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam ayat 12, satu kali pada ayat 33 dan dua kali pada ayat 176. Setiap kata ‘ditinggalkan’ (ترك) dalam ayat-ayat di atas didahului oleh kata ‘apa-apa’ (ما) dalam bahasa arab kata itu disebut ma mawshul. Ma mawshul termasuk lafadz yang am yaitu suatu perkataan yang memberi pengertian umum. Hal ini berarti penentuan uang Santunan Jasa Raharja sebagai harta peninggalan tidak bertentangan dengan nash, karena belum ada dalil khusus yang mengatur tentang uang santunan tersebut. Metode yang digunakan untuk menetapkan santunan Jasa Raharja untuk korban meninggal dunia bagi penumpang kendaraan umum, pribadi, dan diluar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya adalah Qiyas. Qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang ada nash-nya dengan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa hukum tersebut. Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas menjadi sumber hukum syari’at bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia dan berada pada tingkatan keempat. Penetapan metode qiyas untuk sesuatu yang tidak ada nashnya yang jelas, mempunyai beberapa rukun yaitu: 1. Al-Ashl ( الأصل ) : sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukumnya. 2. Al-Fur’ ( الفروع ) : sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya. 3. Al-Hukm ( الحكم) : hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’ (cabang). 4. Al-Illat ( العلة ) : alasan serupa antara asal dan far’. Syarat-syarat untuk menetapkan rukun qiyas yaitu: 1. Asal, ditetapkan dengan nash. 2. Cabang, tidak ada syarat yang mengatur sesuatu yang akan diqiyaskan. 3. Hukum yang disamakan kepada cabang dengan jalan qiyas harus memenuhi syarat: a. Merupakan hukum syara’ yang ditetapkan nash. b. Illat yang ada pada hukum asal itu hendaknya dapat terjangkau akal. c. Hukum asal merupakan hukum yang tidak ditakhshish (dikhususkan). 4. Illat, illat dapat dijadikan alasan qiyas mempunyai syarat-syarat yaitu: a. Illat itu merupakan sifat nyata. b. Illat itu merupakan sifat yang pasti atau tertentu dan terbatas, serta dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan cara membatasi atau lantaran adanya sedikit perbedaan. c. Illat itu harus ada sifat sesuai, yaitu adanya dasar asumsi dalam mewujudkan hikmah hukum. d. Illat itu harus tidak merupakan sifat terbatas pada asal, artinya ada beberapa karakteristik dan bisa diwujudkan atau dijumpai pada selain asal. B. Santunan Jasa Raharja Dalam Istinbath Hukum Istinbath ialah usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya. Penetapan hukum santunan Jasa Raharja untuk korban meninggal bagi penumpang kendaraan umum, pribadi, dan diluar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya menggunakan metode qiyas. Proses qiyasnya sebagai berikut: 1. Asal : Surat an-Nisa’ ayat 92. وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا...... (النساء: ۹۲ ) Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja maka hendaklah dia memerdekaakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang diserahkankepada keluarganya (Si terbunuh itu), terkecuali jika mereka (keluarga korban) bersedekah….(an-Nisa’ [4]:92). 2. Hukum : wajibnya (pembunuh) membayar diyat kepada ahli waris korban. 3. Cabang : untuk korban meninggal bagi penumpang kendaraan umum, pribadi, dan diluar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya. 4. Illat : santunan Jasa Raharja diberikan kepada ahli warisnya karena ahli waris korban meninggal di luar alat angkutan lalu lintas akibat pengoperasiannya adalah pihak yang dirugikan oleh pengendara kendaraan bermotor. Ahli waris pembunuhan tidak sengaja juga merupakan pihak yang dirugikan oleh pembunuh yang tidak sengaja. Penetapan rukun-rukun di atas telah memenuhi syarat-syarat yaitu: 1. Asal, surat an-Nisa’ ayat 92. 2. Cabang, tidak ada syarat yang mengatur sesuatu yang diqiyaskan. 3. Hukum yang disamakan dengan cabang telah memenuhi syarat-syarat berikut: a. Hukum wajibnya pembunuh membayar diyat atas pembunuhan yang dilakukannya dengan tidak sengaja kepada ahli waris berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 92. b. Illat hukumnya terjangkau akal, ahli waris mendapat kerugian dengan kematian korban pembunuhan tidak sengaja. c. Hukum wajib membayar diyat kepada ahli warisnya, berlaku untuk semua pembunuhan tidak sengaja baik yang menggunakan alat, atau tidak, baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi sebab kematian, sebab hukum ini tidak dikhususkan (takhsish). 4. Illat telah memenuhi syarat-syarat illat: a. Kematian anggota keluarga berakibat ahli waris menderita kerugian kehilangan anggota keluarganya dan itu bisa dilihat oleh mata, demikian pula kematian yang disebab kendaraan bermotor bisa dilihat oleh panca indera, sehingga kerugian dari pihak ahli waris juga bisa dilihat oleh panca indera. b. Pembayaran diyat bagi pembunuhan tidak sengaja, diserahkan kepada ahli warisnya sebagai pihak yang dirugikan, demikian pula santunan Jasa Raharja, perbedaannya terletak pada pembayaran diyat dilakukan oleh pembunuh sedangkan santunan Jasa Raharja oleh PT Jasa Raharja. c. Hikmah hukum wajibnya membayar diyat kepada ahli warisnya dapat diwujudkan kepada cabang yaitu: 1. Meringankan beban ahli waris, santunan Jasa Raharja meringankan ahli waris agar tidak terbebani biaya pengobatan dan atau biaya pemakaman, apabila ada sisa maka sebagai penebus kesalahan kepada ahli warisnya. 2. Sebagai wujud penyesalan dan permohonan maaf dari pembunuh yang tidak sengaja, uang santunan Jasa Raharja sebagai wujud penyesalan dan permohonan maaf dari sopir kepada ahli warisnya karena ahli waris sebagai pihak yang dirugikan dan karena tidak mungkin meminta maaf kepada mayit. 3. Mencegah timbulnya dendam dari ahli waris kepada pengendara. d. Illat sifatnya tidak terbatas pada asal, dan itu bisa ditemukan pada cabang yaitu pemberian santunan Jasa Raharja kepada ahli waris korban kecelakaan lalu lintas dikarenakan ada kematian, sebagai ganti kerugian kepada ahli waris, diberikan oleh pihak yang melakukan pembunuhan, dalam hal ini PT Jasa Raharja mewakili pemilik kendaraan yang mengakibatkan korban meninggal. Tujuan pembentukan hukum Islam (maqoshid al-tasyri’) hakikatnya adalah memelihara segala maksud syara’ terhadap makhluk, maksud-maksud ini terbatas dalam tiga hal yaitu: 1. Dharuriyah, 2. Hajiyah, dan 3. Tahsiniyah. Dharuriat kebutuhan primer (dhoruri) ialah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut. Kebutuhan primer ada lima yaitu 1. Agama, 2. Jiwa, 3. Akal, 4. Harta, dan 5. Keturunan. Kebutuhan sekunder (hajiyat), yaitu sesuatu yang dibutuhkan manusia tetepi seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Tujuan hajiyat sebagai penetapan hukum dikelompokan menjadi tiga yaitu: a. Hal yang diperintahkan syara’ melakukan untuk dapat melaksanakan kewajiban secara baik, seperti mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. b. Hal yang dilarang syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada unsur yang dhoruri. c. Segala bentuk kemudahan termasuk hukum rukhsah (kemudahan) yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Kebutuhan tertier (tahsiniyat), yaitu sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Bentuk-bentuk maslahah yang merupakan tujuan pembinaan hukum Islam (maqoshid al-tasyri’) ada dua yaitu: 1. Maslahah mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia. 2. Maslahah menghindarkan umat manusia dari kerusakan dan keburukan. Santunan Jasa Rasa Raharja yang berupa uang adalah harta yang dapat memenuhi kebutuhan primer manusia, yaitu terpenuhinya kebutuhan mempunyai harta untuk mempertahankan hidup, namun santunan Jasa Raharja juga bisa memicu pertikaian antara sesama ahli waris dikarenakan masing-masing merasa paling berhak atas uang santunan, sehingga harus ada ketentuan bagian yang jelas. Penentuan uang santunan Jasa Raharja disamakan dengan tirkah dimana sudah jelas bagian masing-masing ahli waris, sehingga tidak ada perbedan mengenahi hak masing-masing ahli waris yang dapat memicu pertikaian, berarti mewujudlkan tujuan pembentukan hukum Islam untuk memberikan manfaat, kebaikan dan kesenangan bagi manusia. Manfaat yang bisa diwujudkan dengan penentuan status uang santunan Jasa Raharja sebagai tirkah yaitu: a. Hak mayit atas biaya perawatan jenazah lebih terjamin, sebab tirkah menurut hukum Islam harus mendahulukan biaya perawatan jenazah. b. Hak ahli waris juga terjaga, sebab dalam hukum kewarisan Islam setelah hak-hak mayit ditunaikan sisanya dapat dibagi kepada ahli waris. c. Status tirkah lebih jelas pembagiannya bagi para ahli waris sebab ketentuan ahli waris dalam asuransi kecelakaan menurut pasal 12 PP No. 18 tahun 1965 berurutan sebagai berikut: 1. Janda atau dudanya yang sah. 2. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah, kepada anak-anaknya yang sah. 3. Dalam hal tidak ada janda/dudanya dan anak-anaknya yang sah kepada orang tuanya yang sah. Ketentuan ahli waris menurut PP No. 18 Tahun 1965 di atas menjadi tidak jelas ketika jumlah ahli waris dalam satu tingkatan lebih dari satu maka siapa yang lebih berhak mendapatkan, sedangkan dalam ketentuan hukum Islam hal itu sudah diatur dengan jelas bagiannya. d. Manfaat bagi pemberi, tercapainya maksud pemberian, sebab hukum kewarisan Islam mewajibkan, menunaikan hak mayit atas perawatan jenazah, wasiat dan pembayaran hutang didahulukan setelah itu baru harta dibagi kepada ahli waris, dan itu merupakan tujuan pemberi santunan yaitu untuk biaya pengobatan dan pemakaman serta untuk ahli warisnya. Kerusakan dan keburukan yang bisa dihindarkan yaitu: a. Menghindarkan pertengkaran sesama ahli waris, karena pembagian yang tidak jelas. Sebab perbedaan persepsi terkadang bisa menjadi pemicu pertengkaran. b. Mencegah penyelewengan uang santunan oleh salah satu ahli warisnya. c. Mencegah terabaikannya hak mayit untuk mendapatkan perawatan jenazahnya, sebab dalam harta waris menurut hukum Islam ada hak-hak yang harus dilaksanakan yaitu: pertama, perawatan jenazah, kedua, pembayaran hutang, ketiga, pelaksanaan wasiat, sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli warisnya. Selain kelebihan di atas, penentuan status uang Jasa Raharja sebagai harta peninggalan (tirkah) juga mempunyai kekurangan yaitu: a. Ada kemungkinan hak didahulukan sedangkan kewajiban dilupakan oleh ahli waris, karena penentuan uang santunan Jasa Raharja sebagai harta waris bukan hukum positif sehingga tidak ada sanksi di negara Indonesia, bagi yang melanggarnya. b. Apabila mayit punya banyak hutang, maka hak ahli waris bisa terabaikan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah penyusun lakukan pada bab-bab sebelumnya, maka dapatlah penyusun simpulkan bahwasanya Santunan Jasa Raharja dalam Persepketif Kewarisan Islam, adalah Santunan yang diberikan oleh PT. Jasa Raharja untuk korban kecelakaan lalu lintas, sebagai tirkah Santunan tersebut dapat beralih kepada para ahli warisnya. Akan tetapi hak kepemilikan santunan tersebut baru bisa dibagikan kepada para ahli warisnya setelah hak tersebut berbentuk uang, tidak lagi berbentuk hak, dan tentu saja setelah dikurangi dengan hak-hak dan kewajiban yang belum terselesaikan semasa hidupnya. B. Saran Masalah warisan merupakan masalah yang tidak akan habis-habisnya dalam negeri kita ini, karena kondisi masyarakat kita yang sangat plural, serta kondisi sosial yang senantiasa berubah-ubah menyesuaikan dengan perubahan zaman. تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة Pembahasan ini tidak akan mampu menjawab semua permasalahan yang akan muncul di masa yang akan datang. Oleh karena itu, maka perlu adanya pembahsan yang lebih mendalam mengenai kewarisan dalam hukum Islam agar nantinya dapat berguna bagi masyarakat umum dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di kemudian hari. Kemudian untuk para ahli waris dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, hendaknya terdapat kesepakatan antara masing-masing pihak untuk memanfaatkan uang santunan yang diterima tersebut secara bersama-sama, agar nantinya tidak terjadi perselisihan di antara mereka yang nantinya akan menimbulkan perpecahan keluarga di antara mereka. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran, dan ada kelanjutan dari kajian hukum Islam untuk selanjutnya, sehingga syari’ah tidak berjalan ditempat, sehingga Islam selalu difungsikan dapat memberikan rahmat bagi semua umat manusia dan seluruh alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pencarian