Selasa, 01 September 2009

TASSAWUF IRFANI

TASAWUF IRFANI
KERANGKA BERPIKIR IRFANI
DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT
Pendahuluan

Di samping tasawuf, Islam juga mengenal ajaran ruhani (ilmu) lainnya yang disebut ’irfan (Anwar, 2002: 47). Menurut Ruhullah Syams, sebagaimana yang dilihat secara umum istilah ’irfan dan tasawuf digunakan secara sinonim di dunia Islam hari ini .

C. Ramli Bihar Anwar (2002: 47) mengatakan, Irfan muncul untuk pertama kalinya sebagai reaksi atas praktik-praktik tasawuf tertentu dalam dunia Syiah yang dianggap telah menyimpang dari syariat. Karena itu, di dalam ’irfan sangat mementingkan syariat sebagai dasar bertasawuf.
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk (riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Para sufi adalah urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh pengetahuan hakiki ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs yang kemudian menyampaikan kepada makrifat Rabb (Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu ).
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000: 69), kerangka irfani yaitu lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptaan-Nya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis teoritis (al- iman al-aqli an-Nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri ad-dzauqi). Lingkup irfani ini tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud yaitu maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal).
Berdasarkan batasan tema bahasan yang telah ditentukan, Kerangka Berpikir Irfani: Dasar-dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat. Adapun sub telaahan kami adalah :

A. Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal

B. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf

C. Perihal dalam Perjalanan Sufi

D. Metode Irfani
Semoga dalam memahami ilmu tasawuf khususnya kerangka berpikir irfani ini tidak sebatas teoritis, tapi aplikatif. Sehingga, tujuan penelaahan dapat tercapai, yakni pendalaman ilmu guna kemaslahatan umat.

A. Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal


Al-Maqamat

Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t seperti memperbanyakkan zikir, beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan Maqamat/stasiun (jama’ dari maqam). Syamsun Ni'am (2001: 51) menambahkan, jalan itu sangat sulit dan untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat. Dengan kata lain, maqam adalah tingkatan salik dalam beribadah melalui latihan bertahap guna membangun jiwa seorang hamba Allah s.w.t.
A. Rivay Siregar (2002: 113), menjelaskan bahwa di kalangan sufi, orang pertama yang membahas masalah al-maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, adalah al Haris ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H). Namun, siapapun yang pertama menyusun al-maqomat, tidaklah dipermasalahkan, tetapi yang pasti adalah sejak abad tiga hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf , ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai latihan amalan, baik amalan lahiriah maupun batiniah .

Al-Ahwal

Menurut sufi, al-ahwal-jamak dari al-hal-dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya (Rivay, 2002: 131). Dengan kata lain, seorang salik (penempuh jalan tarekat) yang serius hatinya dipenuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain menyebutnya sebagai maqamat (kedudukan/tingkatan) (Abdul Fattah, 2000: 107).
Namun, penulis lebih sependapat dengan Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000:71) yang mengatakan bahwa hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Jelasnya, hal tidak sama dengan maqam, keduanya tidak dapat dipisahkan.


B. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:

1. Taubat

Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah s.a.w. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Menurut Sayyid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha (2003: 42), taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh Allah menuju ke arah yang dipuji oleh-Nya. Taubat adalah tahap pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya. Taubat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Setelah manusia dilumuri berbagai dosa. Tanpa adanya taubat seorang salik tidak akan dapat menempuh jalan menuju Allah s.w.t.
Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeda sama sekali dari yang biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang dekat dengan Allah s.w.t. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.
Taubat yang dilakukan adalah taubat yang sungguh-sungguh (taubatan nasuhan)(Abdul Kadir al-Jilani, 2003: 73). Dalam hal ini, baik hati, lisan dan amal mencerminkan pertobatan. Beliau menganalogikan seseorang yang bertaubat nasuha seperti menggali akar (dosa) umbi dengan cangkul berupa didikan ruhaniah dari guru atau syekh yang sebenarnya (guru munsyid). Sebelum berladang atau berkebun, tanahnya harus dibersihkan terlebih dahulu dari akar-akar pohon, tunggul-tunggul pohon, dan semak-semak belukar. Rasulullah s.a.w. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan  Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan karunia-Nya.
Salah satu unsur taubat yang harus dipenuhi adalah adanya penyesalan diri atas dosa-dosa yang dilakukan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan al-Qusyairi dalam Syamsun Ni’am (2001: 52), "Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi syarat pertaubatan", demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua syarat yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara umum.
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222) Karena itu, ingat syarat taubat nasuha. Antara lain, pertama, segera meninggalkan dosa dan maksiat, kedua, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan dan ketiga, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa. Abdul Kadir al-Jilani (2003: 75) menegaskan bahwa tanda taubat yang diterima Allah s.w.t. adalah seseorang tidak akan mengulangi perbuatan dosa.


2. Zuhud

Secara bahasa Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang yang meninggalkan kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin Syukur (1997: 1) menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid.
Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia (Simuh, 1997: 58). Al-Ghazali mengatakan, zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat (Abdul Fattah, 2000: 117). Sedang menurut, Abu Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah. Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah,”bahwa tangan terbebas dari harta dan hati terbebas dari angan-angan.” Michael A. Sells ( 2004: 266), seorang profesor perbandingan agama Haverford College berpendapat, zuhud adalah mengendalikan apa yang dihalalkan dan menjadi sebuah kewajiban melepaskan perkara yang diharamkan dan subhat.
Ragam penafsiran mengenai zuhud ini, tetapi semuanya berkonotasi pada mengurangi dan jika mungkin mengabaikan kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya (Rivaiy, 2002: 116). Sehingga secara sederhana zuhud adalah sikap seseorang dalam memandang perkara duniawi secara tidak berlebihan.
Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadid ayat 20-23. Dari ayat itu, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintainya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.
Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”
Imam Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan atau derajat. Pertama, zuhudnya orang awam yaitu meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Kedua, zuhudnya orang khawash (orang khusus, orang istimewa), yaitu meninggalkan barang halal, jika barang halal itu dipandangnya telah berlebih dari kebutuhan dasarnya. Dan ketiga, zuhudnya orang ’arif (orang yang mengetahui hakikat Allah), yaitu meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya sibuk dan lalai dari mengingat Allah . Banyak orang yang berpandangan sempit terhadap zuhud. Zuhud dianggap harus meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma mengharap belas kasihan dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.


3. Faqr (Fakir)
Ibrahim ibn Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, ”Kefakiran adalah jubah dari mereka yang mulia, pakaian dari mereka yang telah diberikan sebuah misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum bertakwa, hiasan para Mukmin, rampasan para’arifin, peringatan bagi pencari, benteng bagi para ’abid, dan penjara bagi para pendosa .
Simuh (1997:62) mengutip, Abu Bakar al-Mishri berkata ”Fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”. Sedang Abu ’Abdullah ibn Al-Jalla menjelaskan mengenai hakikat fakir, ”Bahwa engkau tidak memiliki apa pun dan jika engkau memiliki sesuatu, engkau masih tidak memilikinya, dan sejauh engkau tidak memilikinya, engkau tidak memilikinya”.
Ragam interpretasi yang dijumpai di kalangan sufi mengenai istilah Faqr (al Faqr) ini. Meskipun demikian, pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negatif akibat keinginan kepada harta kekayaan (Rivay,2002: 119).
Jelasnya, faqk adalah maqam yang bertujuan untuk menyucikan diri dari segala keinginan selain Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan diri kepada sang khalik selain membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya. Dengan pengertian bahwa melalui faqr, para salik akan menyadari serba terbatasnya dirinya sebagai hamba. Sehingga, perasaan itu melahirkan kepasrahan dan ketundukan.


4. Sabr (Sabar)

Firman Allah swt. dalam QS. Az-Zumar [39]: 10
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Al-Ghazali mengatakan,”Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.” Al Junaid berkata bahwa sabar itu, ”menanggung beban demi Allah s.w.t. hingga saat-saat sulit tersebut berlalu”. Sedang menurut Sahl At-Tusturi, ”sabar berarti menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah.”
Walaupun definisi mengenai sabar dari masing-masing para ulama berbeda, pada hakikatnya adalah sama. Sebab secara garis besar, sabar dimaksudkan sebagai wujud ibadah hamba Allah dalam menggapai keridhaan-Nya. Dan orang yang telah berhasil membentuk dirinya sebagai insan penyabar, ia akan memperoleh keberuntungan yang besar.


5. Syukur

Abdul Fattah Sayyid Ahmad (2000: 124) dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur adalah dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang dorongan syahwat, disebut ’sabar’. Menguatnya dorongan agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang motivasi agama, disebut ’syukur’.
Firman Allah swt. dalam QS. Lukman [31]:31, Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.
Syukur kepada Allah merupakan bukti atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada hamba-Nya (Syamsun Ni’am, 2001: 59). Secara global syukur adalah “Sharfun ni’mah fi ma khuliqat lahu”(menggunakan nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya secara proporsional) . Al-Junaid mengatakan “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat . Dalam dataran aplikatif, syukur tidak hanya diwujudkan dalam lisan semata. Namun juga dinyatakan dalam gerak dan perasaan hati. Dengan demikian syukur itu merupakan perpaduan antara perilaku hati, lisan dan raga.


6. Tawakal

Kata’tawakal’ diambil dari akar kata ’wakalah’. ”Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”. Kata ’mewakilkan’ di sini berarti ’menyerahkan’ atau ’mempercayakan’. Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada ’al wakil’ (tumpuan perwakilan) .
Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini. Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal, ”hidup untuk satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan, tawakal adalah percaya akan janji. Dan Sahl ibn ’Abdullah berkata bahwa tawakal itu, ” Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”.
Berbagai sudut pandang dari para ulama dalam membahasakan istilah tawakal. Dan sebenarnya definisi dari mereka tidak saling berseberangan. Bahkan saling melengkapi. Sederhananya, tawakal berarti penyerahan penuh diri hamba kepada sang khalik setelah melalui ikhtiar yang maksimal dari hamba tersebut. Sebab Simuh (1997: 66) menegaskan bahwa tawakal yang didahului dengan ikhtiar merupakan tuntunan syariat Islam.


7. Ridha (Rela)

Ridha berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau seseorang. Ridha digambarkan sebagai”keteguhan di hadapan qadha”. Allah s.w.t. menyebutkan ridha dalam kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya (QS. Al-Maidah[5]:119); Dan keridhaan Allah adalah lebih besar (QS Al-Taubah [9]:72). Dengan cara demikian, keridhaan Allah swt atas hamba-Nya jauh lebih besar daripada ridha atas-Nya dan mendahuluinya. Dzu Al-Nun berkata,”Kebahagiaan hati dengan berlalunya Qadha”. Ibn ’Atha berkata, ridha adalah takzimnya hati untuk pilihan abadi dari Tuhan untuk sang hamba karena dia tahu bahwa Dia s.w.t. telah memilihkan yang terbaik untuknya dan menerimanya serta melepaskan ketidakpuasannya.” Ibnu Khafif mengatakan, ridha adalah kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya . Sedang menurut Rabi’ah al-’Adawiyah, ridha adalah ”Jika dia telah gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat” Sepertinya pengertian ridha demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi (Rivay, 2002: 122). Segala peristiwa atau perihal yang terjadi dan dialami dihadapi dengan hati yang tenang. Sekalipun peristiwa itu perkara musibah, kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha merupakan maqam terakhir dari perjalanan salik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan pada maqam ini. Para salik harus berjuang dan berkorban (mujahadah) secara bertahap serta terus-menerus melakukan riadhah. Namun, bukan berarti perjalanan para salik berhenti sampai di sini. Masih ada perjalanan selanjutnya yang mesti ditempuh dan tentunya masing-masing mereka akan mengalami pengalaman spiritual yang berbeda.


C. Hal-hal yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi

Hal-hal yang dimaksud adalah al ahwal yang dialami para salik dalam menempuh perjalanan menuju ma’rifatullah. Al ahwal tersebut di antaranya: muhasabah dan muraqabah, qarb, hubb, raja’ dan khauf, syauq, uns,thuma’ninah, musyahadah dan yakin (Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, 2000:74). Namun berikut ini adalah penjelasan dari beberapa hal-hal saja:

1. Muhasabah dan Muraqabah

Kedua hal ini dikaji secara bersamaan oleh sebagian sufi. Sebab, keduanya memiliki fungsi yang sama yakni menundukan perasaan jasmani yang berasal dari nafsu dan amarah. Dengan pengertian, kedua hal ini dapat dilakukan secara bersamaan.

Muhasabah (Introspeksi)

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’) Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan. Muhasabah dapat diartikan pemeriksaan diri secara terus-menerus, yakni seorang mukmin meninjau kembali ucapan dan perbuatan setiap hari, setiap jam apakah baik atau buruk (Fathullah Gulen, 2001: 28). Dalam hal ini kritik dirilah yang dijadikan metode dalam pencarian kedalaman batin. Dan ini perlu usaha-usaha spiritual dan intelektual guna memotivasi serta mengembangkan potensi kebaikan pada diri. Mochamad Bugi menjelaskan, dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah s.w.t. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah s.w.t. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (lihat QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1)
Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dkk.(2004: 93-94), muhasabah sesudah beramal itu ada tiga: 1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hal Allah swt. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. 2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalka daripada dikerjakan. 3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, atas dasar apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah swt dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharap dunia dan kefanaannya, sehingga ia merugi?


Muraqabah (Keterjagaan)

Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik muraqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan "pembukaan " di dalam. Muraqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika "pembukaan " yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan kulminasi, boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud dari semua ini ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.


2. Hubb (Cinta)

Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berasal dari kalimat habba-hubban-hibban yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi (Louis Ma’luf dalam Syamsun Ni’am, 2001: 111). Dalam Al-Quran banyak dijumpai kata-kata al-hubb atau mahabbah yang bermakna cinta. Diantaranya QS. Al-Baqarah [2]: 165. Al-Ghazali berkata, cinta adalah kecenderungan naluriah kepada sesuatu yang menyenangkan. Al Junaid berkomentar tentang cinta, ”cinta berarti merasuknya sifat-sifat sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat pecinta”. Ketika Rabi’ah al Adhawiyah ditanya tentang cinta, dia menjawab, ”antara orang yang mencintai (muhibb) dan orang yang dicintai (mahbub) tidak ada jarak (Syamsun Ni’am, 2001: 117). Definisi dari beberapa sufi irfan tersebut cukup beragam. Sebenarnya untuk memahami mahabbah ini, tidak bisa disamakan dengan istilah cinta yang biasa digunakan. Jelasnya, cinta di sini sangat berbeda dengan pengertian cinta sesama makhluk Tuhan. Cinta yang dimaksud adalah cinta hakiki dari hamba kepada khaliknya. Dengan kata lain, cinta itu perwujudan rasa kedekatan jiwa dan raga seorang hamba dihadapan Tuhannya. Walau cinta merupakan masalah asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu memaknai dan mendefinisikan cinta. Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta adalah agama serta imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata: “Orang yang mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur dari cawan, maka ia belum mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah merasakan isi cawan, dimana cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika belum meneguknya.” Artinya jika seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu kali merasakan cinta belum cukup baginya untuk bisa memahami rasa cinta, perjalanan yang tidak ada akhirnya dan manusia tidak akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya terhadap cinta tidak akan pernah hilang. Ibnu Rajab Al-Hambali dkk (2004: 127) mengatakan, cinta yang paling bermanfaat, yang paling wajib, yang paling tinggi, dan yang paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepada-Nya dan menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk mengesakan-Nya. Artinya, hakikat cinta hanya diperuntukan kepada Allah swt., rab yang Maha Mencintai dan pantas dicintai.


3. Ar Raja’ dan Khauf

Menurut kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi (Anwar dan Solihin, 2000: 75). Dengan alasan itu, kedua hal tersebut dipadankan dalam pembahasannya. Ar Raja’(Berpengharapan kepada Allah) Raja’ diartikan berharap atau optimisme , yaitu tenang dan senangnya hati karena menunggu sesuatu yang dicintai . Karena keterbatasan bahasa Indonesia, tidak ada padanan kata yang sesuai untuk Ar Raja’, yang paling mendekati artinya adalah harapan, meskipun sebetulnya artinya bukan harapan (Nasarudin Umar, 2007.) Sang hamba menebar benih iman, menyiraminya dengan air ketaatan, membersihkan hatinya dari onak akhlak tercela, lalu menunggu anugerah dari Allah s.w.t., yaitu Dia menetapkannya sampai ajal tiba dan husnul khatimah pembuka maghfirah. Dengan itu, raja’ sang hamba adalah raja’ yang benar. Firman Allah swt. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.Al-Baqarah [2]: 218) Ada tiga hal yang dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap sesuatu. Yaitu: Mencintai yang diharapkannya. Takut akan kehilangannya Usaha untuk mendapatkannya Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas, hanyalah angan-angan semata. Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-khauf (takut). Khauf (Takut kepada Allah) Abu Hafsh berkata, khauf /takut adalah cambuk Allah s.w.t. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya (Mulyad dalam Syamsun Ni’am, 2001: 65). Khauf dikatakan pula sebagai ungkapan derita hati dan kegundahannya terhadap apa yang akan dihadapi. Sehingga mampu mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan (Ibnu Rajab dkk, 2005: 147). Allah swt meridhai hamba-Nya yang khauf kepada-Nya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS.Al-Bayyinah [98]:8). Banyak ayat lain yang mengisyaratkan keutamaan khauf ini, diantaranya QS. Al-A’raf [7]: 156, QS. Fatir [35]:28, QS. Ali Imran [3]: 175, dan lainnya.


4. Syauq (Rindu)

Suhrawardi dalam Solihin (2003: 29) berujar, selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Kerinduan yang terdalam ingin berjumpa dengan Tuhan, sehingga matinya jasad malah bukan sesuatu yang ditakuti. Bahkan diinginkan para sufi, karena dengan begitu impiannya ingin berjumpa dengan sang maha kasih, Allah s.w.t. dapat terkabul.


5. Uns (Intim)

Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa kesepian (Anwar dan Solihin, 2000: 76). Untuk mendeskripsikan uns ini, simak petikan syair sufistik berikut: ”Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta. Seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah” Syair tersebut menggambarkan sekilas perasaan keintiman para sufi dengan Tuhan. Istilah ’intim’ di sini, jelas bukan merujuk pada pengertian hubungan sesama makhluk. Intim hanya digunakan sebagai simbol bahasa dalam memahami kedalaman hubb (cinta) hamba kepada Allah swt. yang disimbolkan sebagai sang kekasih.


D. Metode Irfani

Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat ma’rifat, para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti riyadhah, tafakur, tazkiat an-nafs, dan dzikrullah. Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani tersebut. 1. Riyadhah Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54). Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riadhah bukanlah perkara mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar dan Solihin, 2000: 79). Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka salik akan memperoleh ilmu ma’rifat. Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui fakta dan data).


2. Tafakur (Refleksi)

Secara harfiah ’Tafakur’ berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan terperinci (Gulen, 2001: 34). Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur. Bertafakur tentang ciptaan Allah s.w.t. merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian misteri ilahi di dalam kitab semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan spiritual menyerap cahaya pancaran ma’rifat Allah (Gulen, 2001: 35). Artinya, penelusuran di alam pikiran dan hati tersebut bisa memperkokoh keimanan serta taqarrub hamba kepada Allah s.w.t. Dalam proses tafakur, persepsi yang didapati dari tafakur itu dihubungkan dengan gambaran masa silam, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif untuk hidup di masa depan. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan tanggungjawab kepada Allah swt.
Oleh karena itu Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang timbulnya pengetahuan yang ketiga. Kekeliruan pengetahuan atau tingkat keilmuannya kurang memadai pada seseorang dapat menyesatkannya atau tafakurnya adalah suatu kesia-siaan. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan kesulitan dalam menafsirkan beberapa kejadian alam semesta. Tafakur dasarnya adalah ilmu sehingga Islam menganjurkan untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan tafakurnya.

Fase-fase dalam bertafakur

Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu: 1. Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indera lanilla. 2. Tadhawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah dari apa yang dilihat atau didengar. 3. Penghubung antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang Maha Agung. 4. Syuhud artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan. Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungan-Nya.


3. Tazkiyat An-Nafs

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams [91]: 7-10).
Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu ’tazkiyat’ dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata ’zakka’ yang berarti penyucian (Ma’aluf dalam Solihin, 2003: 130). Kata ’an-nafs’ berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian jiwa . Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban Rasulullah saw . Perihal tersebut dapat dilihat dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 2. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifaq, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi dalam Solihin, 2003: 131). Sedang menurut Al-Ghazali dalam Solihin, (2003: 133), Tazkiyat An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti takhliyat an-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan jiwa dengan sifat terpuji) Achmad Mubarok (2002: 200) memaparkan, para mufasir berbeda pandangan tentang makna tazkiyat an-nafs, antara lain sebagai berikut:
o Tazkiyah dalam arti para Rasul mengajarkan kepada manusia, sesuatu yang
jika dipatuhi, akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan dengannya.
o Tazkiyah dalam arti menyucikan manusia dari syirik dan sifat rendah lainnya.


4. Dzikrullah

Istilah ’zikr’ berasaldari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004: 85). Berzikir kepada Allah berarti zikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci (Al-Jilani, 2003: 97). Dzikrullah, adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin) Al-Quran mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur, yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat. Berikut penjelasannya:

1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41). Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124 dan QS. Al-Hasyr [59]: 19).

2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan kalbu (ma’rifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.

3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)


Penutup
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerangka berpikir irfani merupakan salah satu jalan sufistik yang ditempuh para sufi dalam mencapai pengenalan kepada Allah swt secara total (ma’rifatullah) sebagai hamba-Nya. Di dalam pengembaraan para salik (penempuh tasawuf) tersebut, mereka mesti melalui tahapan-tahapan maqam (maqamat) seperti taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, tawakal, dan ridha.
Setelah para salik berhasil menempuh tingkatan maqam, mereka berada pada kondisi al hal (ahwal). Pada kondisi ini mereka akan dengan mudah mengalami hal-hal secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan mujahadah mereka masing-masing. Adapun hal-hal tersebut adalah muhasabah, muraqabah, hubb, raja’, khauf, syauq, dan uns.
Segala penempuhan di dalam maqamat dan ahwal untuk mencapai derajat hamba yang hakiki di sisi Allah swt. tersebut tidak akan diperoleh secara sempurna jika dilakukan tanpa pedoman dan bimbingan tertentu. Pedoman tersebut digunakan sebagai metode penempuhan para sufi yakni metode irfani. Metode irfani merupakan salah satu metode sufistik yang telah digali oleh para ‘arifin (ulama tasawuf) dari sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul saw.
Dengan begitu, jelaslah sudah bahwa kerangka berpikir irfani melalui falsafi maqamat dan ahwalnya menjadi dasar amalan para salik di dalam memahami esensi (hakikat) nilai-nilai penghambaan diri kepada sang Maha dahsyat. Selain itu, kerangka berpikir irfani ini, tidak semata dikhususkan bagi para salik atau sufi, melainkan pula kepada kaum muslimin yang menginginkan ketenangan secara lahir dan batin, dan tentunya disertai dengan pedoman dan bimbingan guru munsyid.
REFERENSI
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, DR., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
Abdul Qadir al-Jilani, Syekh, Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, Jakarta: The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 2003.
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
C.Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, Jakarta: Penerbit IIMAN bekerjasama dengan Penerbit HIKMAH, 2002
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting, 2001.
http://www.cybermq.com
http://www.dakwatuna.com/
http://www.dzikrullah.com/
Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Imam Al-Ghazali, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih, Solo: Pustaka Arafah, 2005.
Michael A. Sells, Prof., Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, Bandung: Mizan, 2004.
Mukhtar Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
Mukhtar Solihin, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.
Rivay Siregar, Prof. H. A., Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
Syayid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003
Dihimpun dari berbagai sumber *

TASAWUF DI ABAD MODERN

KONTEKSTUALISASI TASAWWUF DI ABAD MODERN
A. Pendahuluan
Secara prinsip tiada seorang pun yang dapat menafikan adanya konsep tasawwuf dalam tradisi Islam. Tasawwuf terbukti sangat berkesan dalam mendidik jiwa manusia, memberikan ketenangan hati dan mengisi kekosongan jiwa. Sehingga setelah memahami kepentingan tasawuf, banyak sarjana Muslim mengatakan bahawa ia adalah salah satu aspek penting ajaran Islam. Seyyed Hossien Nasr (1991: 56) mengatakan bahwa tasawwuf “serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Tasawwuf telah memberikan semangatnya pada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial mahupun intelektual.”
Sebagai aspek terdalam (esoteris) ajaran Islam (al-janib al-‘Atifi min al-Islam), tasawwuf kerap kali dikatakan sebagai hakikat sedangkan aspek luaran (eksoteris) dikatakan sebagai Syari‘ah. Keduanya yaitu hakikat dan syariah ini mempunyai peranan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan daripada ajaran Islam yang komprehensif (kaffah). Oleh karena itu kedua-duanya ini tidak boleh dilihat secara dikotomis, terpisah dan dipertentangkan.
Namun pada kenyataannya tasawwuf merupakan salah satu subjek yang sering disalahfahami oleh banyak orang, baik di kalangan Muslim sendiri maupun orang bukan Islam. Hal ini berlaku di antaranya adalah karena tasawwuf telah melalui evolusi dan perkembangan yang jauh setelah ia diperkenalkan kepada generasi awal Islam.
Istilah Tasawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah simbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan) (Nasr, 1991: 32).
Dunia tasawwuf adalah dunia kerohanian (spirituality). Merupakan suatu hal yang mustahil memahami dunia ini jika seseorang itu hanyut dalam alam material dan keduniaan. Di Abad modern ini, di mana kehidupan masyarakat didominasi oleh worldview sekuler, tasawwuf menjadi sesuatu yang asing dan terpinggir. Malahan, ada kalangan yang beranggapan bahwa orang-orang yang mengamalkan tasawwuf adalah orang-orang yang kolot, berfikir ke belakang dan konservatif.
Menurut penulis, ketika dunia modern semakin hanyut dengan materialisme dan hedonisme, peranan tasawwuf dirasakan amat signifikan dalam usaha mengatasi permasalahan dan dilema yang dihadapi oleh masyarakat hari ini. Semakin dominan falsafah sekularisme dan materialisme dalam kehidupan masyarakat semakin banyak orang yang mencari akan ‘makna’ dan hakikat kehidupan.
B. Kerangka Teoritis
Dalam wacana keilmuan ajaran Islam dapat digolongkan ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama, ajaran fiqh; ajaran yang menekankan hal–hal yang bersifat lahiriah dan formalistik. Pada dimensi ini kebenaran diukur dengan penuh kepatuhan atau kesesuaian terhadap aturan-aturan formal dan bersifat lahiriah. Bagian kedua, ajaran kalam; ajaran yang menitikberatkan pada persoalan kekuasaan Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Dalam wacana ini, biasanya rasio demikian dianggap penting. Sehingga tidak jarang kebenaran harus ditundukkan pada kekuatan logika. Bagian ketiga, ajaran tasawwuf, ajaran yang menitikberatkan hal-hal yang bersifat spiritual. Ukuran kebenaran pada dimensi ini adalah dzauq (rasa) atau pengalaman batin.
Klasifikasi di atas, mirip dengan teori yang menyatakan bahwa ada tiga pendekatan dalam memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan bayani (tekstual), pendekatan burhani (logika), pendekatan irfani (rasa). Dan dalam konteks pembahasan ini tasawwuf masuk dalam kategori irfani.
Secara wacana kesejarahan menurut Jalaluddin Rahmat (2000: 25) kelahiran tasawwuf muncul lebih awal dibanding Fiqh. Pandangan ini, didasarkan pada kenyataan bahwa tokoh-tokoh tasawwuf seperti Hasan al-Bisri, Jafar Ash-shiddiq, serta tokoh-tokoh sufi awal lainnya, mereka lebih dikenal sebagai tokoh tasawwuf ketimbang sebagai tokoh fiqh. Imam Hanafi, Imam syafi’I dan Imam Malik, mereka adalah tokoh-tokoh fiqh yang muncul setelah tokoh-tokoh tasawwuf. Fakta ini merupakan bukti setelah lama tasawwuf eksis dan berkembang. Hanya saja menurut jalal tasawwuf tidak dinamakan “tasawwuf” melainkan zuhud.
Dalam perjalanannya tasawwuf menurut Jaluddin Rahmat (2000: 25) terbagi menjadi tiga bagian yaitu Tasawwuf sebagai madzhab akhlaq, tasawwuf sebagai madzhab ma’rifat, tasawwuf sebagai madzhab hakikat. Dikatakan tasawwuf sebagai madzhab akhlak karena tasawwuf mengajarjab sejumlah akhlak. Akhlak yang diajarkan dalam tasawwuf adalah akhlak batiniyah. Akhlak diletakkan sebagai proses panjang dalam tazkiyatunnafs.
Dikatakan Tasawwuf sebagai madzhab makrifat, maknanya adalah tasawwuf mengajarkan suatu pengetahuan dengan tanpa proses belajar atau proses berfikir. Pengetahuan ini merupakan pemberian langsung dari Allah Swt. Jenis pengetahuan ini dinamakan sebagai ilmu ladunni atau ilmu hudhurri.dengan pengetahuan ini seseorang dapat mengetahui sesuatu tanpa diberitahu oleh orang lain.
Dikatakan Tasawwuf hakikat, adalah seorang sufi yang mengarahkan hidupnya hanya kepada Allah Swt. Bagi sufi Tuhan adalah sang kekasih sejati. Sufi selalu merindukan perjumpaan dengan kekasihnya. Ia melepaskan sifat-sifat basyariahnya dan menyerap sifat-sifat Allah Swt. Ia ingin menyatu dengan Allah, hakikat dari semua yang ada.
C. Kontekstualisasi Sikap Zuhud di Abad Modern
Secara prinsip jalan sufi adalah jalan yang ditempuh oleh seorang Muslim yang serius dan yang bersungguh-sungguh meraih keredhaan Allah Swt. Hakikatnya jalan ke surga dipenuhi dengan onak duri dan jalan ke neraka pula dipenuhi dengan perhiasan. Seorang Sufi betul-betul menghayati hadith yang menyebut bahawa dunia adalah penjara bagi orang Mukmin dan Syurga bagi orang kafir. Maka seorang sufi adalah seorang yang sanggup melepaskan kenikmatan dan perhiasan dunia kemudian sanggup menempuh kepahitan, kekurangan dan kehinaan demi mencapai keridhaan Tuhannya dan bertemu dengan Sang Kekasih.
Dibalik keseriusan, kepahitan dan kesabaran yang dihadapi seorang sufi, ia dapat merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan hati yang tidak dapat dirasakan oleh orang yang terlingkupi oleh materialistik. Oleh karena itu tasawwuf menawarkan kebahagiaan hati di tengah gersangnya arus modernitas.
Seorang yang tawadu‘ (merendah diri), zuhd (tidak materialistik), qana‘ah (merasa cukup), seringkali mendapati dirinya bebas, tenang, dan damai. Kehidupan dunia ini sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an seperti fatamorgana. Dalam Surah al-Nur: 39 dikatakan:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْئَانُ مَآءً حَتَّى إِذَا جَآءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang Yang kafir pula, amal-amal mereka adalah umpama riak sinaran panas di tanah rata yang disangkanya air oleh orang Yang dahaga, (lalu ia menuju ke arahnya) sehingga apabila ia datang ke tempat itu, tidak didapati sesuatu pun Yang disangkanya itu; (Demikianlah keadaan orang kafir, tidak mendapat faedah dari amalnya sebagaimana Yang disangkanya) dan ia tetap mendapati hukum Allah di sisi amalnya, lalu Allah meyempurnakan hitungan amalnya (serta membalasnya); dan (ingatlah) Allah amat segera hitungan hisabNya.
Oleh karenanya, Allah Swt. telah mengingatkan bahwa kadangkala apa yang manusia sangka baik sebenarnya tidak baik, dan kadangkala yang manusia sangka buruk pada hakikatnya adalah baik.
Allah telah memperingatkan beberapa kali bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Harta benda yang menjadi kesenangan di dunia ini adalah sedikit sahaja, (dan akhirnya akan lenyap), dan (balasan) hari akhirat itu lebih baik lagi bagi orang-orang yang bertaqwa (kerana ia lebih mewah dan kekal selama-lamanya), dan kamu pula tidak akan dianiaya sedikit pun.” (al-Nisa’: 77)
Walaupun dunia ini dikatakan perhiasan yang menipu dan fitnah (cubaan) yang dapat menguji keimanan seseorang tetapi dunia tidak dikatakan hina, patut ditinggalkan dan dijauhi. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Iqbal (1966: 21) bahwa manusia tidak boleh lari dari dunia yang telah Allah percayakan kepada manusia. Manusia bertanggungjawab atas dunianya.
Bagi Iqbal (1966: 22) sikap asketisme dianggap sebagai pelarian dari realitas kehidupan yang kongkret, dan itu berarti lari dari dunia fisiknya sendiri. Mencintai Tuhan berarti sepenuhnya terlibat dengan dunia yang Tuhan ciptakan bukan lari darinya.
Pada hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat untuk manusia mengabdi, ia adalah tempat ujian untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan alat ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang netral. Di bawah ini akan dijelaskan konsep zuhud yang menunjukkan bahwa zuhud tidak berarti meninggalkan dunia.
Kebanyakan masyarakat hari ini memahami zuhud sebagai cara hidup yang meninggalkan dunia, berpakaian lusuh, makan dan minum ala kadarnya -tidak berkhasiat, tidak memiliki harta benda dan rumah yang kurang baik, menggunakan kendaraan yang buruk atau tidak berkendaraan langsung. Dengan konsepsi zuhud seperti ini maka konsep zuhud disinonimkan dengan kemunduran dan sikap konservatif. Jadi secara tidak langsung, orang yang menerima konsepsi zuhud seperti ini telah menyifatkan Islam dengan kemunduran dan anti dunia.
Benarkah zuhud itu sinonim dengan kemunduran dan anti dunia? Selain dari itu, persoalan yang lebih luas lagi adalah benarkah konsepsi tersebut bersandarkan kepada karya-karya ulama besar dalam ilmu tasawwuf dan akhlak seperti Ibn Arabi, al-Ghazzali dan Miskawayh.
Dalam usahanya menerangkan apa yang dimaksudkan dengan zuhud, Imam al-Ghazzali (tt: 207) mendefinisikan zuhud dengan: “tindakan seseorang yang menolak sesuatu yang diinginkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih berharga.” Walaupun dari definisi yang dinyatakan oleh al-Ghazzali ini mengisyaratkan perlunya dunia itu ditinggalkan untuk mendapatkan akhirat, namun penulis berpendapat apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazzali adalah meninggalkan kecintaan terhadap dunia untuk memastikan seseorang itu mendapatkan ampunan akhirat. Ini karena al-Ghazzali sendiri sering menekankan perlunya dunia dan segala apa yang terkandung digunakan sewajarnya, tidak berlebihan agar ia tidak jadi penghalang kepada penghambaan diri kepada Allah Swt.
Sebenarnya zuhud dekat dengan penolakan terhadap dunia, tetapi penolakan tersebut tidak sama sekali bermaksud meninggalkan dunia. Yang ditolak adalah kecintaan terhadap dunia (hubb al-dunya). Dunia dengan segala kesenangan dan perhiasannya bersifat menggiurkan, manusia yang kurang imannya akan terpedaya dan menjadikannya lengah lalu meninggalkan perintah Tuhannya. Kecintaan terhadap dunia ini perlu dikawal dan ditundukkan karena jika tidak ia akan menyesatkan seseorang. Rasulullah Saw. beberapa kali mengingatkan bahwa hubb al-dunya merupakan faktor yang signifikan pada kelemahan umat Islam.
Bagi Sufyan al-Thawri, seorang tokoh sufi yang ulung, zuhud adalah perbuatan hati yang menyerahkan segala sesuatu demi mencapai keridhaan Allah Swt. dan menutup hati dari segala ambisi keduniaan. Kaum sufi juga telah menjelaskan ciri-ciri orang yang benar-benar memiliki sifat zuhud: orang yang tidak bergembira dengan mendapatkan keduniaan, tidak juga sedih dengan kehilangannya, tidak merasa seronok dengan pujian dan terancam dengan kritikan dan cacian, dan yang selalu mengutamakan pengabdian kepada Allah atas segala sesuatu yang lain.
Oleh karena zuhud adalah lawan kepada hubb al-dunya, maka pada istilah yang sesuai untuk memperkenalkan kembali zuhud dengan wajah yang segar adalah bahawa ia adalah lawan kepada sifat materialistik. Seseorang yang zuhud sebenarnya adalah seseorang yang tidak ada dalam dirinya sifat materialistik, kecintaan terhadap dunia atau pun mementingkan keduniaan.
Zuhud dalam arti kata hilangnya hubb al-dunya dalam diri seorang Muslim bukan satu pilihan melainkan satu kemestian. Zuhud yang selama ini dilihat sebagai suatu cara hidup yang khas dimiliki oleh para sufi atau ‘golongan agama’ sebenarnya suatu cara hidup yang diinginkan oleh Islam untuk diamalkan oleh setiap penganutnya. Islam mengajarkan umatnya agar melihat dunia sebagai alat yang digunakan untuk meraih keridhaan Allah Swt. di akhirat. Dunia dipandang sebagai alat dan bukan tujuan.
D. Tasawwuf: Penyeimbang dunia Materil dan Spritual
Tasawwuf tidak boleh dilihat hanya berfungsi sebagai pemenuhan kerohanian manusia. Tasawwuf sebenarnya berfungsi sebagai penyeimbang kepada keharmonian hidup manusia. Kemajuan dan pembangunan yang tertumpu pada aspek fisikal dan material akan melahirkan manusia yang berat sebelah (pincang).
Kehidupan modern yang didominasi oleh falsafah materialisme adalah kehidupan yang kasar, kering, penuh dengan konflik, kepentingan, permusuhan dan kebencian. Lebih daripada itu seorang yang materialistik pada kemuncaknya sanggup melakukan perkara yang tidak etis demi memenuhi tujuannya. Ini menunjukkan bahwa sifat materialistik (nafsu) telah memenjarakan dan memperhambakan dirinya. Oleh itu, pada hakikatnya materialisme telah merendahkan martabat manusia menjadi makhluk yang rendah.
Islam, sebagai panduan hidup manusia, telah memberikan jalan keluar bagi kepincangan dan ketidakharmonian kehidupan manusia. Solusi yang diberikan oleh Islam adalah keseimbangan (i‘tidal) antara pembangunan jasmani dan pembangunan rohani, antara keperluan material dan keperluan spiritual.
Walaupun orientalis tidak membedakan tasawwuf dengan mistisisme, namun jelas bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara tasawwuf dengan mistisisme. Mistisisme, khususnya yang berkaitan dengan kuasa luar biasa (paranormal) atau ilmu ghaib (occult), muncul setelah tasawwuf awal diselewengkan oleh beberapa aliran tasawuf. Ibn Taymiyyah adalah di antara ulama’ yang terang-terangan menentang penyelewengan kaum sufi di zamannya.
Penilaian kritis terhadap perkembangan tasawwuf juga dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, Muqaddimah. Setelah mengkaji dengan mendalam, Ibn Khaldun membincangkan perkembangan tasawwuf dengan cukup rinci dan ilmiah termasuk beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh kaum sufi. Beliau menolak pandangan tokoh-tokoh sufi yang menyebabkan seseorang lari dari dunia. Ibn Khaldun (tt: 2005) juga mengatakan bahwa konsep qutb ataupun ra’s al-‘Arifin (maqam yang tertinggi dalam tatanan sufi) adalah konsep yang tidak berasas sama sekali.
Umat Islam sewajarnya adalah umat pertengahan (ummatan wasatan) di antara umat Yahudi yang rigid, literal, menumpukan pada aspek perundangan semata (the ten commandents) dan umat Nasrani yang telah memperkenalkan kerahiban (rahbaniyyah), meninggalkan dunia demi menyucikan diri.
Sejak awal Rasulullah s.a.w. telah memperingatkan bahwa dalam Islam tiada kerahiban: la rahbaniyyata fi al-Islam. Dengan demikian umat Islam terlepas dari satu keburukan yang terdapat dalam agama lain iaitu bid‘ah kerahiban. Rasulullah s.a.w. tidak menyetujui orang yang terus menerus beribadah dengan meninggalkan makan minum, seks dan tidur malam, sebaliknya menyuruh mereka mengikuti sunnah baginda yang menjalani kehidupan seperti manusia biasa.
Di samping itu kekuatan rohani merupakan bekal yang penting dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan. Seseorang yang hanya dibekalkan dengan kekuatan akal akan rentan kekecewaan dan putus asa, karena tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan kemampuan akal manusia. Hakikatnya, para saintis telah mengakui bahwa kejayaan seseorang dalam kehidupan bukan saja ditentukan oleh ketinggian IQ tetapi juga ketinggian EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) atau pun oleh sarjana Muslim disebut sebagai kecerdasan rohaniah (transcendental intelligence). (Tasmara: 2004:61)
Kecerdasan rohaniah mampu membekalkan semangat, kekentalan, kesabaran, keikhlasan, kejujuran, integriti, dsb. Seseorang yang merasakan dirinya dekat dengan Tuhan akan sentiasa berbuat baik, berbakti kepada masyarakat demi mencapai keridhaan Sang Kekasih dan mengharapkan ganjaran-Nya di akhirat kelak. Kecerdasan rohaniah menghasilkan taqwa (self-restrain) yang dapat menghalang seseorang Muslim daripada melakukan perbuatan maksiat, jahat dan tercela walaupun tiada pengawasan dan kawalan luaran.
Tasawwuf tidak memundurkan seseorang. Seseorang yang dekat dengan Allah Swt. adalah orang yang banyak berbuat dan bukan hanya berharap. Ungkapan yang menggambarkan keperibadian para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w. adalah mereka itu seperti para rahib di waktu malam dan pasukan berkuda pada waktu siang “ruhbanun fi al-layl wa fursanun bi al-nahar.” Inilah gambaran sebenar seorang Muslim yang benar-benar mengikuti ajaran Islam. Seorang yang dekat dengan Tuhan tetapi juga seorang yang beraksi dan bukan hanya penonton. Seorang Muslim sejati adalah yang memainkan peranan sebagai aktivis, reformis, pengurus, pentadbir, pemikir, pendidik dsb. Mereka adalah golongan yang dirasakan akan kehadiran mereka oleh umat ini dan merasa kehilangan dengan ketiadaan mereka.
Revitalisasi Tasawwuf di Abad Modern
Tasawwuf perlu diperkenalkan semula kepada masyarakat dengan pendekatan yang baru. Pendekatan yang menumpukan pada substansi dan bukannya bentuk (form). Pendedahan yang apresiatif sekaligus kritis perlu diperkenalkan kepada para pendidik. Tidak seperti ilmu Syari‘ah lainnya, tasawwuf adalah ilmu yang mengalami perkembangan yang luas dan terkadang tidak terkawal. Dalam menggambarkan hal ini, al-Attas (2006:96) mengatakan bahwa seseorang itu mesti dapat membedakan antara aspek positif tasawwuf daripada aspek negatifnya. Menurutnya aspek negatif tasawwuf sebenarnya tidak merujuk kepada tasawwuf yang sebenar. Al-Attas (2001: 96) mendefinisikan tasawwuf sebagai pengamalan Syariah dalam maqam ihsan. Baginya tasawwuf membentuk dimensi ruhani Islam di mana organ yang digunakan juga adalah organ spiritual (fu’ad, qalb). Dimensi dalaman ini menuntut seseorang pergi lebih jauh daripada sekedar pengamalan luaran.
Muhammad al-Ghazzali (tt: 103) juga telah mencoba melakukan tajdid terhadap tasawuf. Persoalan utama yang ingin diatasi olehnya adalah bagaimana mengeluarkan tasawwuf dari ‘gua pertapaan’ sehingga ia dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan. Muhammad al-Ghazali (tt:104) menjelaskan bahawa konsep ihsan yang ditekankan dalam hadist tidak seharusnya dibatasi pada ibadah khusus saja. Hadist lain menuntut bahwa Allah Swt. mewajibkan hambanya berlaku ihsan pada setiap perkara yang dilakukan.
Berangkat daripada hadist ini Muhammad al-Ghazali (tt: 105) mengatakan adalah tanggungjawab setiap Muslim untuk memastikan segala tindakannya, pekerjaan yang dipilihnya, bidang yang digelutinya dilakukan dengan sebaik mungkin untuk menjamin kualitas dan tahap kecemerlangan yang tertinggi. Bahkan menurutnya, pelaksanaan fardu kifayah tersebut akan menentukan setiap Muslim dapat melaksanakan fardu ‘ain. Dengan demikian tidak ada alasan umat Islam ketinggalan dalam bidang sains, teknologi, militer, ekonomi dsb. Kerena apabila wujud sikap untuk berbuat yang terbaik (ihsan) dalam melakukan setiap perkara maka umat Islam tidak akan ketinggalan dan mundur seperti sekarang ini (Muhammad al-Ghazali, tt:106)
Di Nusantara, telah muncul seorang ilmuwan besar yang telah mencuba untuk memurnikan ajaran tasawwuf. Hamka (2005:21) menyadari bahawa perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia Islam umumnya telah dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf yang menyeleweng. Dalam menanggapi hal ini antara lain Hamka mengatakan:
“Di dalam zaman kekacauan pikiran, lantaran kurang baiknya ekonomi, sosial dan politik; kerapkali timbul kerinduan ummat hendak melepaskan fikiran dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke dalam daerah khayalan Tasauf”.
Menurut Hamka (2005:153), orang pertama yang menyerukan tajdid tasawwuf di Nusantara adalah Ahmad Khatib bin ‘Abdul-Latif al-Minangkabawi yang mengajar di Mekah. Beliau telah menentang keras amalan-amalan ahli tariqat terutamanya tariqat al-Naqshbandiyyah yang menghadirkan guru-guru tariqat ketika permulaan suluk. Menurut ulama’ ini perbuatan seperti itu adalah syirik. Sebagai kesimpulan Hamka menyarankan agar tasawwuf dikembalikan kepada pokok pangkalnya yaitu Tauhid.
Perlu dijelaskan bahwa dalam seseorang itu mempelajari tasawuf di abad modern ini tidak semestinya bertariqat. Karena tasawwuf tidak hanya tertumpu pada zikir, suluk, mujahadah, salasilah dan kuantiti ibadah khusus yang banyak tetapi yang lebih penting adalah pemahaman dan penghayatan terhadap hakikat ajaran tasawwuf. Hakikat tasawwuf ialah hidupnya hati nurani dan jiwa manusia yang senatiasa sadar akan hakikat dirinya, dan hakikat ketuhanan dalam setiap amal perbuatannya (Hamka, 2005: 17). Seorang sufi melihat segalanya berasal daripada Allah Swt, dengan kuasa Allah Swt. dan akan kembali kepada Allah Swt. Seorang sufi tidak terpikir untuk melepaskan dirinya dari tunduk kepada Syariah, justru dia akan sentiasa memelihara diri daripada perkara-perkara yang ditegah oleh Syari‘ah.
Hasan Al-Banna (dalam Hawwa: tt: 116), pengasas al-Ikhwan al-Muslimin, memperkenalkan sistem usrah untuk menjadikan tarbiyyah ruhiyyah sebagai asas pembangunan pejuang dakwah. Jelas sekali bahwa Ia melakukan penggabungan antara tasawwuf dan fiqh al-harakah. Tasawwuf tidak menjadi tujuan tetapi alat untuk membentengi diri dan memperkuat barisan. Tasawwuf yang ingin diketengahkan di sini bertujuan untuk meningkatkan kerohanian dan mendidik jiwa para da‘i sebelum mereka berperanan sebagai pembimbing masyarakat. Sebagai seorang da‘i tasawwuf dapat menjadi sumber kekuatan, semangat dan daya juang yang sangat diperlukan dalam penyebaran dakwah.
Kesimpulan
Tasawwuf di abad modern semestinya dikembalikan kepada fungsinya yang asal yaitu sebagai satu kaedah untuk membina manusia rabbani, manusia yang unggul. Suatu jalan yang membina hubungan manusia dengan Tuhannya dan masyarakat sekelilingnya. Ia juga berperan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia karena keseimbangan jasmani dan rohani yang dapat menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Sufi-sufi modern tidak anti dunia melainkan terlibat dalam dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Diin. ‘Ammin: Maktabah Fayyai, t.t.(Terjemahan)
Hamka, Tasawwuf: Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke-20, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.
Ibn Khaldun, Muqaddimah al-lamah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Nasr, Seyyed Hussain, Tasawuf Dulu dan Sekarang, penterjemah Abdul Hadi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Nursi, Said, Menikmati Takdir Langit, diterjemahkan oleh Fauzy Bahreisy dan Joko Prayitno. Jakarta: Murai Kencana, 2003.
Al-Qaradawi, Yusuf, Thaqifat al-Din’iyah. Kaherah: Maktabah Wahbah, 1996.
Rahman, Fazlur, Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1979 (Terjemahan)
Siddiq Fadzil, Perspektif Qur’ani: Siri Wacana Tematik. Kajang: Biro Dakwah dan Tarbiyah ABIM Pusat, 2003.
Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah (transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Jalaluddin Rahmat, Tasawwuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed.), Kuliah-kuliah Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Hidayah:2000).

Dimpun dari berbagai sumber *

TASAWUF & PENGERTIANNYA

TASAWUF: ASAL-USUL DAN MAQAMAT

A. PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan tujuan semata beribadah kepada-Nya. Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ(4)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (At-Tin: 4)

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah: 30)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Ad-Dzariat: 56)

Selanjutnya Rasulullah memberi tuntunan bagaimana proses ibadah itu hendaknya diwujudkan:

عن أبي هُرَيْرَةَ قال كان النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارزًا يومًا للناسِ فأَتاه رجلٌ فقال: ما الإيمان قال: الإيمان أن تؤمنَ بالله وملائكتِهِ وبلقائِهِ وبرسلِهِ وتؤمَن بالبعثِ قال: ما الإسلامُ قال: الإسلامُ أن تعبدَ اللهَ ولا تشركَ به وتقيمَ الصلاةَ وتؤدِّيَ الزكاةَ المفروضةَ وتصومَ رمضانَ قال: ما الإحسان قال: أن تعبدَ الله كأنك تراهُ، فإِن لم تكن تراه فإِنه يراك قال: متى الساعةُ قال: ما المسئولُ عنها بأَعْلَم مِنَ السائل، وسأُخبرُكَ عن أشراطِها؛ إِذا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذا تطاولَ رُعاةُ الإبِلِ البَهْمُ في البنيان، في خمسٍ لا يعلمهنَّ إِلاَّ الله ثم تلا النبيُّ صلى الله عليه وسلم (إِنَّ الله عنده علم الساعة ) الآية: ثم أدبر فقال: رُدُّوه فلم يَرَوْا شيئاً فقال: هذا جبريل جاءَ يُعَلِّمُ الناسَ دينَهم (متفق عليه)

“Dari Abi Hurairah ia berkata: Suatu hari Nabi SAW. nampak di tengah manusia, lalu seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya: “Apakah iman itu?” Rasul menjawab: “Iman ialah engkau percaya pada Allah, Malaikat-Nya, bertemu dengan-Nya, Rasul-Nya dan bangkit dari kubur (hari kiamat). Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Islam itu?”. Rasul menjawab: “Islam adalah Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikan zakat fardhu, dan berpusa bulan Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu?”. Rasul menjawab: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Lelaki itu bertanya lagi: “Kapan terjadi hari kiamat?”: Rasul menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal ini (rasul) lebih mengetahui jawabannya dari si penanya, aku akan jelaskan tentang tanda-tanda kiamat (ialah): apabila seorang budak melahirkan tuannya, apabila para penggembala binatang ternak telah berlomba bermegah dalam bangunan, ia termasuk lima hal yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah”, lalu Rasul membaca ayat: إِنَّ الله عنده علم الساعة sampai ayat terahir. Lalu lelaki itu pergi dan Nabipun berkata kepada para sahabat: “Panggillah lelaki itu”, tetapi tak seorangpun dari sahabat melihatnya lagi. Lalu Nabi berkata: “Lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada hadis di atas Nabi membimbing setiap Muslim dalam beribadah dan menyembah Allah dengan konsep Ihsan yang dijelaskan rasul dengan: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Konsep ini adalah dasar bertasawuf dalam Islam. Menurut rasul, setiap muslim hendaklah selalu menjalin hubungan yang intim dengan Tuhannya setiap saat. Sebab, bagi muslim setiap gerak anggota badan, panca indera dan bahkan hati adalah rangkaian pemenuhan kewajiban ibadah kepada-Nya. Allah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isro: 36)

Allah sangat dekat dengan hamba-hambaNya, Allah berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ(186)

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Al-Baqarah: 186)

Selanjutnya kalangan ulama tasawuf memberikan pengajaran bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mewujudkan perilakau ihsan dalam keseharian dengan beragam jalan diantaranya maqamat seperti dirumuskan oleh para sufi.

Permasalahannya adalah: Darimana asal usul tasawuf dan Apa konsep maqamat dalam tasawuf serta aplikasinya dalam kehidupan?

B. PENGERTIAN TASAWUF

Sebelum lebih jauh membahas tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian singkat sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni. Karena memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT.[1] Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari kata saff, artinya saff atau baris. Mereka dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada baris (saff) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya.[2] Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi mesjid (suffah) yang hidup pada masa nabi SAW.[3] Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka (para sufi) tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf).[4]

Sedangkan tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:[5]

1. Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.

2. Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.

3. Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.

4. Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.

5. Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).

C. TUJUAN TASAWUF

Adapun tujuan tasawuf adalah:

1.      Menurut Harun Nasution, tujuan  tasawuf  adalah  mendekatkan  diri sedekat  mungkin dengan  Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan.[6]
2.      Menurut K. Permadi, tujuan tasawuf ialah fana untuk mencapai makrifatullah, yaitu leburnya diri pribadi pada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhanan.[7]
Dengan demikian inti dari ajaran tasawuf adalah menempatkan Allah sebagai pusat segala aktivitas kehidupan dan menghadirkan-Nya dalam diri manusia sebagai usaha memperoleh keridaan-Nya.

D. ASAL USUL TASAWUF

Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan di atas.

Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8); petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).[8]

Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6); yakin, tawakal (al-Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37); beribadah dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110), takut terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53); amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.

Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:

كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى

“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.

Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.” dan al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Juga hadis riwayat Imam Bukhari berikut yang menyatakan:

لا يزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع وبصره الذى يبصر به ولسانه الذى ينطق به ويده الذى يبطش بها ورجله الذى يمشوى بها فبى يسمع فبى يبصر وبى ينطق وبى يعقل وبى يبطش وبى يمشى.

“Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat, sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berjalan; maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”

Hadis tersebut memberi petunjuk dapat bersatunya manusia dan Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fana’nya makhluk kepada Tuhan yang saling mencintai.

Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.

Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu do’anya nabi bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan lapar.

Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan shalat, Aisyah bertanya: “Wahai junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi SAW menjawab: ‘Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. 68:4). Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab: “Akhlaknya adalah al-Qur’an”. (HR. Ahmad dan Muslim).

Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

Demikian sekilas asal-usul tasawuf dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian perlu juga kita perhatikan pendapat dari kalangan orientalis Barat. Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, selanjutnya unsur di luar Islam yang masuk ke dalam tasawuf menurut orientalis dapat dijelaskan berikut:

1. Unsur Masehi (agama Nasrani)

Orang Arab sangat menyukai cara kependataan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah.Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.[9]

Unsur lain yang dikatakan berasal dari Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan syekh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.[10]

2. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia Islam di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola fikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.[11]

Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat ke dunia Islam melalui mazhab paripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (paripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.

Filsafat emanasinya Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal mula tasawuf di dunia Islam. Dalam emanasinya, Plotinus menjelaskan bahwa roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan tetapi ketika masuk ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Penyucian roh dilakukan dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sebisa mungkin, atau bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.[12]

3. Unsur Hindu/Budha

Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.[13]

Salah satu maqamat sufiah al-Fana nampaknya ada persamaan dengan ajaran Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.[14]

Menurut Qomar Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.[15]

4. Unsur Persia

Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.[16]

Dari semua uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.

E. MAQAMAT

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Harun Nasution menyebut dengan istilah stations.

Tentang berapa jumlah tangga, station atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu: al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridha. Sementara itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu: al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.[17]

Kutipan di atas memperlihatkan penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh kalangan sufi disepakati, ialah: al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawadhlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat, ketiga istilah terakhir oleh para sufi terkadang disebut sebagai maqamat, dan terkadang sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).

Berikut kami uraikan secara singkat tujuh maqamat yang disepakati:

1. al- Taubah

Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis yang mendorong setiap hamba untuk selalu bertobat terhadap kesalahan. Diantaranya firman Allah:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ(135)

“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imron: 135)

Nabi SAW bersabda:

قال الله تعالى ياابن ادم إنك ما دعوتنى ورجوتنى غفرت لك على ما كان منك ولا أبالى ياابن ادم لو بلغت ذنوبك عنان السماء ثم استغفرتنى غفرت لك ياابن ادم إنك لو أتيتنى بقراب الأرض خطايا ثم لقيتنى لا تشرك بى شيئا لاتيتك بقرابها مغفرة. (رواه الترمذى)

“Allah SWT berfirman: “Wahai Ibn Adam sesungguhnya sepanjang engkau memohon dan mengharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau atas segala dosa yang ada dan aku tidak peduli (seberapapun), Wahai ibn Adam, andai saja dosamu sampai sepenuh langit kemudian engkau datang memohon ampun kepada-Ku, engkau akan aku ampuni, Wahai ibn Adam, sesungguhnya andai engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian bertemu dengan-Ku dengan tidak menyekutukan Aku pada suatu apapun, pasti Aku akan mendatangimu (pula) dengan ampunan sepenuh isi bumi.” (HR. Tarmidzi)

Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Taubat dibedakan menjadi taubat dalam syariat biasa ialah taubatnya orang awam dan maqam taubat ialah taubat orang khawas. Dalam hal ini ulama sufi Dzu al-Nun al-Mishri mengatakan:

توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة

“Taubatnya orang-orang awam adalah (sekedar) taubat dari dosa-dosa, sedang taubat orang khawas ialah taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan).”[18]

Bagi golongan khawas atau sufi, yang dipandang dosa adalah tidak sekedar berbuat maksiat kepada Allah, bahkan yang terbesar adalah dosa ghaflah (terlena dari mengingat Tuhan). Dengan demikian taubat merupakan pangkal peralihan dari hidup lama (ghaflah) ke kehidupan baru secara sufi, yakni hidup selalu mengingat Tuhan sepanjang masa.

Karena taubat menurut sufi terutama adalah taubat dari ghaflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam التوبة من توبة (taubat dari taubat), maksudnya mentaubati terhadap kesadaran keberadaan diri dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri. Dalam hal ini Hujwiri mengatakan:

Orang yang bertaubat adalah pencinta Tuhan. Pencinta Tuhan adalah selalu ingat pada Tuhan. Maka ingat pada Tuhan berarti salah bila masih ingat akan dosanya. Karena ingat akan dosa itu adalah tabir penyekat antara Tuhan dengan pengingat Tuhan. Kesadaran akan keberadaan dirinya itu termasuk dosa, bahkan dosa yang paling besar dari segala dosa-dosa. Melupakan dosa dengan demikian harus melupakan keberadaan dirinya.”[19]

Keberadaan pada maqam التوبة من توبة dalam ilmu tasawuf adalah proses kepada hal (mystical sate), yakni telah merupakan anugerah Tuhan semata-mata, dan bukan lagi hasil upaya manusia. Dalam hal ini R.A. Nicholson mengatakan:

“Acording to the hit mystical theory, repentance is purely an act of divine grace, coming from God to man, not from man to God.”[20]

Menurut teori mistik yang tinggi, taubat semata-mata anugerah Tuhan, datang dari Tuhan kepada manusia, bukan dari manusia kepada Tuhan.”

  1. al-Wara

Secara harfiah al-Wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-Wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (subhat).[21]

Ibrahim bin Adham, seorang ulama sufi mengatakan:

الورع ترك كل شبهة وترك مالا يعنيك وهو ترك الفضلات

”Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau subhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.”[22]

Dasar dari sikap al-Wara’ adalah sabda Nabi SAW.:

فمن اتقى من الشبهات فقد استبرأ من الحرام (رواه البخارى)

“Barangsiapa yang dirinya terbebas dari subhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari).

Sahabat Nabi SAW. Abu Bakar as-Shiddiq pernah berkata:

كنا ندع سبعين بابا من الحلال مخافة أن نقع فى باب من الحرام

“Kami meningalkan tujuh puluh pintu menuju yang halal lantaran takut jatuh pada satu pintu menuju haram”.

Ulama sufi membagi wara’ ke dalam beberapa tingkatan, seperti dikatakan oleh Yahya bin Ma’adz:

الورع على وجهين ورع فى الظاهر وهو أن لا يتحرك إلا لله تعالى وورع فى الباطن وهو أن لا يدخل قلبك سواه تعالى

“Wara’ itu dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak kecuali untuk ibadah pada Allah; dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu kecuali Allah Ta’ala.”[23]

  1. al-Zuhud

Secara harfiah al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[24] Sedangkan menurut Harun Nasution keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya menurut al-Qusyairi, ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.[25]

Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan, Pertama (terendah), ialah menjauhkan dunia agar terhindari dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Dan Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.[26]

Dasar dari sikap zuhud adalah firman Allah:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا(77)

“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (an-Nisa’: 77)

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(32)

“Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka[468]. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32)

فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ(38)

“ Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah: 38)

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى(17)

“sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 17)

Abdul Hakim Hasan dalam bukunya al-Thashawwuf fi al-Syi’ri al-‘Arabi mengatakan:

“Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Nabi SAW. bersabda: ”Jika kamu sekalian melihat seseorang dianugerahi zuhud di dunia dan cerdas nalarnya, maka kau dekatilah dia, bahwasanya dia adalah orang bijaksana.” Dikatakan, zuhud adalah setengah dari firman Allah: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu; dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” (al-Hadid: 23). Maka seorang zahid tidak bergembira dengan adanya dunia di tangannya. Abu ‘Usman berkata: “Zuhud itu kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak peduli siapa yang mengambilnya”. Kesemua makna-makna di atas berkisar pada menghindari kelezatan hidup duniawi dan kenikmatannya, dan ketiadaan kecenderungan kepadanya. Maka Zuhud itu salbi (negatif) sifatnya.”[27]

  1. Fakir

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[28]

Jika pada maqam wara’ seorang sufi berusaha meninggalkan subhat agar hidup hanya mencari yang jelas halal, kemudian dengan zuhud telah menjauhi keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting bagi kelangsungan hidupnya, maka dalam maqam fakir seorang sufi mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah. Maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tahthir al qalbi bi ‘l-kulliyati ‘an ma siwa ‘llah” (penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Allah). Inilah ajaran qath’u al-‘ala’iq قطع العلائق atau tajrid التجريد yakni ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia. Yang dituju dengan konsep fakir atau tajrid sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada kegandrungan pada keindahan penghayatan makrifat pada Zat Allah saja disepenjang keadaan. Yakni terciptanya suasana hati yang netral, tidak ingin dan tidak memikirkan ada atau tidaknya dunia.[29]

Yang menjadi dasar maqam fakir ini, menurut Imam al-Ghazali, adalah kelakuan Nabi SAW sewaktu emas belum diharamkan bagi pria, Nabi pernah berkhotbah dan di tengah-tengah khotbahnya beliau berhenti serta menanggalkan dan melempar cincin emas dari tangan beliau. Sewaktu ditanyakan tentang kejadian itu beliau menjawab bahwa cincin itu mengganggu kekhususkan khotbahwanya.[30]

  1. Maqam Sabar

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atma mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Ibn Usman al-Hariri mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Pendapat lain mengatakan sabar adalah menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal.[31]

Dasar maqam sabar, banyak terdapat dalam firman Allah dan hadis Nabi diantaranya:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (al-Ahqaf: 35)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ(153)

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 153)

Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah fakir yang merupakan syarat untuk bisa berkonsentrasi dalam berzikir mengingat Allah. Dalam keadaan fakir, seseorang dalam hidupnya tentu akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh sebab itu ia harus segera melangkah ke maqam sabar. Jadi dengan maqam sabar, para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa ada keluhan sedikitpun. Itulah laku maqam sabar dalam tasawuf.

  1. Maqam Tawakal

Dasar tawakal sebagai maqam dalam sufi, adalah firman Allah:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ(51)

“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (at-Taubah: 51)

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ(11)

“Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (al-Maidah: 11)

Dalam syari’at Islam Ahlus Sunnah diajarkan bahwa tawakal dilakukan sesudah segala daya upaya dan iktiyar dijalankan. Jadi yang ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Allah adalah hasil usaha setelah segala ikhtiyar dilakukan. Sedangkan dalam tasawuf maqam tawakal dijadikan sebagai wasilah atau tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah, dan menyerahkan segala sesuatu termasuk jiwa raganya hanya kepada Allah SWT.

Dalam risalah Qusyairiyah disebutkan bawa Sahl bin Abdullah mengatakan: “Permulaan dari maqam tawakal itu adalah seorang hamba (manusia) di depan Allah Yang Maha Kuasa laksana mayat di depan orang yang memandikan, dibolak-balikkan sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiyar.” Dalam risalah ini juga disebutkan bahwa Hamdun mengatakan: ”Tawakal itu berserah diri (mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Allah sepenuhnya.”[32]

Konsep tawakal yang dikembangkan oleh kalangan sufi condong kepada tawakal faham jabariah, ialah menggantungkan segalanya kepada Allah SWT. Hal ini karena penghayatan akhir yang dicitakan oleh seorang sufi adalah penghayatan yang diluar kemampuan dan ikhtiyar manusia, akan tetapi karena kehendak Allah semata seperti penghayatan fana’ dan mukasyafah, suatu pengalaman ruhaniah yang amat tergantung sepenuhnya pada kekuatan dari luar manusia.

  1. Maqam Ridla

Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup para sufi bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Allah, meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Allah, selanjutnya harus segera diikuti penataan hati untuk mencapai maqam ridla.

Maqam ridla adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk keadaan jiwa baik itu kebahagiaan, kesenangan, penderitaan, kesengsaraan dan kekusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan karena kebahagiaan menikmati segala pemberian Allah SWT. Yakni sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali, rela menerima apa saja, segala yang telah dan sedang dialaminya itulah yang terbaik baginya, tak ada yang terlebih baik selain apa yang telah dan sedang dialaminya. Ibnu Khaff mengatakan tentang ridla: ”Kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya”. An-Nuri mengatakan: “Ridla itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”. Robi’ah al-‘Adawiyah mengatakan: “Jika dia telah gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat.”[33]

Seorang sufi akan selalu bahagia bersama Tuhannya, karena bagi sufi segala keadaan hidup baik itu nikmat atau cobaan adalah dalam rangka beribadah semata mengharap ridha Allah SWT.

Dasar ridla sebagai maqam dalam sufi adalah firman Allah:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(62)

“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)

Juga dalam hadis Qudsi, Allah berfirman:

إنني اناالله لا اله الا انا من لم يصبر على بلائى ولم يشكر لنعمائى ولم يرضى بقضائى فليخرج من تحت سمائى وليطلب ربا سواي

“Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku”.

F. KESIMPULAN

1. Tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.

2. Para sufi mengenalkan jalan untuk mengenal Allah yang disebut Maqamat, ialah jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Maqamat dalam sufi tersebut adalah: al-Taubah, al-Wara’, al-Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal, dan al-Ridla.


DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002

al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996

Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996

Dihimpun dari berbagai sumber *



[1] Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 hal.42-3

[2] Ibid.

[3]Ibid. hal. 44.

[4] Ibid. Hal 44-5.

[5] Drs. K. Permadi, S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. hal. 28-9

[6] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html

[7] Drs. K. Permadi. Op.cit. hal. 89

[8] Dr. H. Abudin Nata, MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal. 181

[9] Ibid. hal. 185-6

[10] Ibid.

[11] Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000. hal. 35

[12] Ibid. hal. 36

[13] Ibid. hal. 33

[14] Drs. H. Abuddin Nata, MA. Op.Cit. hal. 187

[15] Ibid.

[16] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Op.Cit. hal. 38-9

[17] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Op.Cit. hal. 193-4

[18] Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996. hal. 51

[19] Ibid. Hal. 53

[20] Ibid. Hal. 54

[21] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 199.

[22] Simuh. Op.Cit. hal. 56.

[23] Ibid. Hal. 55.

[24] Imam al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t. hal. 162-178.

[25] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 195.

[26] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Op.Cit. hal. 72.

[27] Simuh. Op.Cit. hal. 57.

[28] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 200.

[29] Simuh. Op.Cit. hal. 63.

[30] Ibid.

[31] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 200

[32] Simuh. Op.Cit. hal. 67.

[33] Ibid. hal. 69-72

Pencarian