KONTEKSTUALISASI TASAWWUF DI ABAD MODERN
A. Pendahuluan
Secara prinsip tiada seorang pun yang dapat menafikan adanya konsep tasawwuf dalam tradisi Islam. Tasawwuf terbukti sangat berkesan dalam mendidik jiwa manusia, memberikan ketenangan hati dan mengisi kekosongan jiwa. Sehingga setelah memahami kepentingan tasawuf, banyak sarjana Muslim mengatakan bahawa ia adalah salah satu aspek penting ajaran Islam. Seyyed Hossien Nasr (1991: 56) mengatakan bahwa tasawwuf “serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Tasawwuf telah memberikan semangatnya pada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial mahupun intelektual.”
Sebagai aspek terdalam (esoteris) ajaran Islam (al-janib al-‘Atifi min al-Islam), tasawwuf kerap kali dikatakan sebagai hakikat sedangkan aspek luaran (eksoteris) dikatakan sebagai Syari‘ah. Keduanya yaitu hakikat dan syariah ini mempunyai peranan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan daripada ajaran Islam yang komprehensif (kaffah). Oleh karena itu kedua-duanya ini tidak boleh dilihat secara dikotomis, terpisah dan dipertentangkan.
Namun pada kenyataannya tasawwuf merupakan salah satu subjek yang sering disalahfahami oleh banyak orang, baik di kalangan Muslim sendiri maupun orang bukan Islam. Hal ini berlaku di antaranya adalah karena tasawwuf telah melalui evolusi dan perkembangan yang jauh setelah ia diperkenalkan kepada generasi awal Islam.
Istilah Tasawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah simbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan) (Nasr, 1991: 32).
Dunia tasawwuf adalah dunia kerohanian (spirituality). Merupakan suatu hal yang mustahil memahami dunia ini jika seseorang itu hanyut dalam alam material dan keduniaan. Di Abad modern ini, di mana kehidupan masyarakat didominasi oleh worldview sekuler, tasawwuf menjadi sesuatu yang asing dan terpinggir. Malahan, ada kalangan yang beranggapan bahwa orang-orang yang mengamalkan tasawwuf adalah orang-orang yang kolot, berfikir ke belakang dan konservatif.
Menurut penulis, ketika dunia modern semakin hanyut dengan materialisme dan hedonisme, peranan tasawwuf dirasakan amat signifikan dalam usaha mengatasi permasalahan dan dilema yang dihadapi oleh masyarakat hari ini. Semakin dominan falsafah sekularisme dan materialisme dalam kehidupan masyarakat semakin banyak orang yang mencari akan ‘makna’ dan hakikat kehidupan.
B. Kerangka Teoritis
Dalam wacana keilmuan ajaran Islam dapat digolongkan ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama, ajaran fiqh; ajaran yang menekankan hal–hal yang bersifat lahiriah dan formalistik. Pada dimensi ini kebenaran diukur dengan penuh kepatuhan atau kesesuaian terhadap aturan-aturan formal dan bersifat lahiriah. Bagian kedua, ajaran kalam; ajaran yang menitikberatkan pada persoalan kekuasaan Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Dalam wacana ini, biasanya rasio demikian dianggap penting. Sehingga tidak jarang kebenaran harus ditundukkan pada kekuatan logika. Bagian ketiga, ajaran tasawwuf, ajaran yang menitikberatkan hal-hal yang bersifat spiritual. Ukuran kebenaran pada dimensi ini adalah dzauq (rasa) atau pengalaman batin.
Klasifikasi di atas, mirip dengan teori yang menyatakan bahwa ada tiga pendekatan dalam memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan bayani (tekstual), pendekatan burhani (logika), pendekatan irfani (rasa). Dan dalam konteks pembahasan ini tasawwuf masuk dalam kategori irfani.
Secara wacana kesejarahan menurut Jalaluddin Rahmat (2000: 25) kelahiran tasawwuf muncul lebih awal dibanding Fiqh. Pandangan ini, didasarkan pada kenyataan bahwa tokoh-tokoh tasawwuf seperti Hasan al-Bisri, Jafar Ash-shiddiq, serta tokoh-tokoh sufi awal lainnya, mereka lebih dikenal sebagai tokoh tasawwuf ketimbang sebagai tokoh fiqh. Imam Hanafi, Imam syafi’I dan Imam Malik, mereka adalah tokoh-tokoh fiqh yang muncul setelah tokoh-tokoh tasawwuf. Fakta ini merupakan bukti setelah lama tasawwuf eksis dan berkembang. Hanya saja menurut jalal tasawwuf tidak dinamakan “tasawwuf” melainkan zuhud.
Dalam perjalanannya tasawwuf menurut Jaluddin Rahmat (2000: 25) terbagi menjadi tiga bagian yaitu Tasawwuf sebagai madzhab akhlaq, tasawwuf sebagai madzhab ma’rifat, tasawwuf sebagai madzhab hakikat. Dikatakan tasawwuf sebagai madzhab akhlak karena tasawwuf mengajarjab sejumlah akhlak. Akhlak yang diajarkan dalam tasawwuf adalah akhlak batiniyah. Akhlak diletakkan sebagai proses panjang dalam tazkiyatunnafs.
Dikatakan Tasawwuf sebagai madzhab makrifat, maknanya adalah tasawwuf mengajarkan suatu pengetahuan dengan tanpa proses belajar atau proses berfikir. Pengetahuan ini merupakan pemberian langsung dari Allah Swt. Jenis pengetahuan ini dinamakan sebagai ilmu ladunni atau ilmu hudhurri.dengan pengetahuan ini seseorang dapat mengetahui sesuatu tanpa diberitahu oleh orang lain.
Dikatakan Tasawwuf hakikat, adalah seorang sufi yang mengarahkan hidupnya hanya kepada Allah Swt. Bagi sufi Tuhan adalah sang kekasih sejati. Sufi selalu merindukan perjumpaan dengan kekasihnya. Ia melepaskan sifat-sifat basyariahnya dan menyerap sifat-sifat Allah Swt. Ia ingin menyatu dengan Allah, hakikat dari semua yang ada.
C. Kontekstualisasi Sikap Zuhud di Abad Modern
Secara prinsip jalan sufi adalah jalan yang ditempuh oleh seorang Muslim yang serius dan yang bersungguh-sungguh meraih keredhaan Allah Swt. Hakikatnya jalan ke surga dipenuhi dengan onak duri dan jalan ke neraka pula dipenuhi dengan perhiasan. Seorang Sufi betul-betul menghayati hadith yang menyebut bahawa dunia adalah penjara bagi orang Mukmin dan Syurga bagi orang kafir. Maka seorang sufi adalah seorang yang sanggup melepaskan kenikmatan dan perhiasan dunia kemudian sanggup menempuh kepahitan, kekurangan dan kehinaan demi mencapai keridhaan Tuhannya dan bertemu dengan Sang Kekasih.
Dibalik keseriusan, kepahitan dan kesabaran yang dihadapi seorang sufi, ia dapat merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan hati yang tidak dapat dirasakan oleh orang yang terlingkupi oleh materialistik. Oleh karena itu tasawwuf menawarkan kebahagiaan hati di tengah gersangnya arus modernitas.
Seorang yang tawadu‘ (merendah diri), zuhd (tidak materialistik), qana‘ah (merasa cukup), seringkali mendapati dirinya bebas, tenang, dan damai. Kehidupan dunia ini sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an seperti fatamorgana. Dalam Surah al-Nur: 39 dikatakan:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْئَانُ مَآءً حَتَّى إِذَا جَآءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang Yang kafir pula, amal-amal mereka adalah umpama riak sinaran panas di tanah rata yang disangkanya air oleh orang Yang dahaga, (lalu ia menuju ke arahnya) sehingga apabila ia datang ke tempat itu, tidak didapati sesuatu pun Yang disangkanya itu; (Demikianlah keadaan orang kafir, tidak mendapat faedah dari amalnya sebagaimana Yang disangkanya) dan ia tetap mendapati hukum Allah di sisi amalnya, lalu Allah meyempurnakan hitungan amalnya (serta membalasnya); dan (ingatlah) Allah amat segera hitungan hisabNya.
Oleh karenanya, Allah Swt. telah mengingatkan bahwa kadangkala apa yang manusia sangka baik sebenarnya tidak baik, dan kadangkala yang manusia sangka buruk pada hakikatnya adalah baik.
Allah telah memperingatkan beberapa kali bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Harta benda yang menjadi kesenangan di dunia ini adalah sedikit sahaja, (dan akhirnya akan lenyap), dan (balasan) hari akhirat itu lebih baik lagi bagi orang-orang yang bertaqwa (kerana ia lebih mewah dan kekal selama-lamanya), dan kamu pula tidak akan dianiaya sedikit pun.” (al-Nisa’: 77)
Walaupun dunia ini dikatakan perhiasan yang menipu dan fitnah (cubaan) yang dapat menguji keimanan seseorang tetapi dunia tidak dikatakan hina, patut ditinggalkan dan dijauhi. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Iqbal (1966: 21) bahwa manusia tidak boleh lari dari dunia yang telah Allah percayakan kepada manusia. Manusia bertanggungjawab atas dunianya.
Bagi Iqbal (1966: 22) sikap asketisme dianggap sebagai pelarian dari realitas kehidupan yang kongkret, dan itu berarti lari dari dunia fisiknya sendiri. Mencintai Tuhan berarti sepenuhnya terlibat dengan dunia yang Tuhan ciptakan bukan lari darinya.
Pada hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat untuk manusia mengabdi, ia adalah tempat ujian untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan alat ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang netral. Di bawah ini akan dijelaskan konsep zuhud yang menunjukkan bahwa zuhud tidak berarti meninggalkan dunia.
Kebanyakan masyarakat hari ini memahami zuhud sebagai cara hidup yang meninggalkan dunia, berpakaian lusuh, makan dan minum ala kadarnya -tidak berkhasiat, tidak memiliki harta benda dan rumah yang kurang baik, menggunakan kendaraan yang buruk atau tidak berkendaraan langsung. Dengan konsepsi zuhud seperti ini maka konsep zuhud disinonimkan dengan kemunduran dan sikap konservatif. Jadi secara tidak langsung, orang yang menerima konsepsi zuhud seperti ini telah menyifatkan Islam dengan kemunduran dan anti dunia.
Benarkah zuhud itu sinonim dengan kemunduran dan anti dunia? Selain dari itu, persoalan yang lebih luas lagi adalah benarkah konsepsi tersebut bersandarkan kepada karya-karya ulama besar dalam ilmu tasawwuf dan akhlak seperti Ibn Arabi, al-Ghazzali dan Miskawayh.
Dalam usahanya menerangkan apa yang dimaksudkan dengan zuhud, Imam al-Ghazzali (tt: 207) mendefinisikan zuhud dengan: “tindakan seseorang yang menolak sesuatu yang diinginkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih berharga.” Walaupun dari definisi yang dinyatakan oleh al-Ghazzali ini mengisyaratkan perlunya dunia itu ditinggalkan untuk mendapatkan akhirat, namun penulis berpendapat apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazzali adalah meninggalkan kecintaan terhadap dunia untuk memastikan seseorang itu mendapatkan ampunan akhirat. Ini karena al-Ghazzali sendiri sering menekankan perlunya dunia dan segala apa yang terkandung digunakan sewajarnya, tidak berlebihan agar ia tidak jadi penghalang kepada penghambaan diri kepada Allah Swt.
Sebenarnya zuhud dekat dengan penolakan terhadap dunia, tetapi penolakan tersebut tidak sama sekali bermaksud meninggalkan dunia. Yang ditolak adalah kecintaan terhadap dunia (hubb al-dunya). Dunia dengan segala kesenangan dan perhiasannya bersifat menggiurkan, manusia yang kurang imannya akan terpedaya dan menjadikannya lengah lalu meninggalkan perintah Tuhannya. Kecintaan terhadap dunia ini perlu dikawal dan ditundukkan karena jika tidak ia akan menyesatkan seseorang. Rasulullah Saw. beberapa kali mengingatkan bahwa hubb al-dunya merupakan faktor yang signifikan pada kelemahan umat Islam.
Bagi Sufyan al-Thawri, seorang tokoh sufi yang ulung, zuhud adalah perbuatan hati yang menyerahkan segala sesuatu demi mencapai keridhaan Allah Swt. dan menutup hati dari segala ambisi keduniaan. Kaum sufi juga telah menjelaskan ciri-ciri orang yang benar-benar memiliki sifat zuhud: orang yang tidak bergembira dengan mendapatkan keduniaan, tidak juga sedih dengan kehilangannya, tidak merasa seronok dengan pujian dan terancam dengan kritikan dan cacian, dan yang selalu mengutamakan pengabdian kepada Allah atas segala sesuatu yang lain.
Oleh karena zuhud adalah lawan kepada hubb al-dunya, maka pada istilah yang sesuai untuk memperkenalkan kembali zuhud dengan wajah yang segar adalah bahawa ia adalah lawan kepada sifat materialistik. Seseorang yang zuhud sebenarnya adalah seseorang yang tidak ada dalam dirinya sifat materialistik, kecintaan terhadap dunia atau pun mementingkan keduniaan.
Zuhud dalam arti kata hilangnya hubb al-dunya dalam diri seorang Muslim bukan satu pilihan melainkan satu kemestian. Zuhud yang selama ini dilihat sebagai suatu cara hidup yang khas dimiliki oleh para sufi atau ‘golongan agama’ sebenarnya suatu cara hidup yang diinginkan oleh Islam untuk diamalkan oleh setiap penganutnya. Islam mengajarkan umatnya agar melihat dunia sebagai alat yang digunakan untuk meraih keridhaan Allah Swt. di akhirat. Dunia dipandang sebagai alat dan bukan tujuan.
D. Tasawwuf: Penyeimbang dunia Materil dan Spritual
Tasawwuf tidak boleh dilihat hanya berfungsi sebagai pemenuhan kerohanian manusia. Tasawwuf sebenarnya berfungsi sebagai penyeimbang kepada keharmonian hidup manusia. Kemajuan dan pembangunan yang tertumpu pada aspek fisikal dan material akan melahirkan manusia yang berat sebelah (pincang).
Kehidupan modern yang didominasi oleh falsafah materialisme adalah kehidupan yang kasar, kering, penuh dengan konflik, kepentingan, permusuhan dan kebencian. Lebih daripada itu seorang yang materialistik pada kemuncaknya sanggup melakukan perkara yang tidak etis demi memenuhi tujuannya. Ini menunjukkan bahwa sifat materialistik (nafsu) telah memenjarakan dan memperhambakan dirinya. Oleh itu, pada hakikatnya materialisme telah merendahkan martabat manusia menjadi makhluk yang rendah.
Islam, sebagai panduan hidup manusia, telah memberikan jalan keluar bagi kepincangan dan ketidakharmonian kehidupan manusia. Solusi yang diberikan oleh Islam adalah keseimbangan (i‘tidal) antara pembangunan jasmani dan pembangunan rohani, antara keperluan material dan keperluan spiritual.
Walaupun orientalis tidak membedakan tasawwuf dengan mistisisme, namun jelas bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara tasawwuf dengan mistisisme. Mistisisme, khususnya yang berkaitan dengan kuasa luar biasa (paranormal) atau ilmu ghaib (occult), muncul setelah tasawwuf awal diselewengkan oleh beberapa aliran tasawuf. Ibn Taymiyyah adalah di antara ulama’ yang terang-terangan menentang penyelewengan kaum sufi di zamannya.
Penilaian kritis terhadap perkembangan tasawwuf juga dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, Muqaddimah. Setelah mengkaji dengan mendalam, Ibn Khaldun membincangkan perkembangan tasawwuf dengan cukup rinci dan ilmiah termasuk beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh kaum sufi. Beliau menolak pandangan tokoh-tokoh sufi yang menyebabkan seseorang lari dari dunia. Ibn Khaldun (tt: 2005) juga mengatakan bahwa konsep qutb ataupun ra’s al-‘Arifin (maqam yang tertinggi dalam tatanan sufi) adalah konsep yang tidak berasas sama sekali.
Umat Islam sewajarnya adalah umat pertengahan (ummatan wasatan) di antara umat Yahudi yang rigid, literal, menumpukan pada aspek perundangan semata (the ten commandents) dan umat Nasrani yang telah memperkenalkan kerahiban (rahbaniyyah), meninggalkan dunia demi menyucikan diri.
Sejak awal Rasulullah s.a.w. telah memperingatkan bahwa dalam Islam tiada kerahiban: la rahbaniyyata fi al-Islam. Dengan demikian umat Islam terlepas dari satu keburukan yang terdapat dalam agama lain iaitu bid‘ah kerahiban. Rasulullah s.a.w. tidak menyetujui orang yang terus menerus beribadah dengan meninggalkan makan minum, seks dan tidur malam, sebaliknya menyuruh mereka mengikuti sunnah baginda yang menjalani kehidupan seperti manusia biasa.
Di samping itu kekuatan rohani merupakan bekal yang penting dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan. Seseorang yang hanya dibekalkan dengan kekuatan akal akan rentan kekecewaan dan putus asa, karena tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan kemampuan akal manusia. Hakikatnya, para saintis telah mengakui bahwa kejayaan seseorang dalam kehidupan bukan saja ditentukan oleh ketinggian IQ tetapi juga ketinggian EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) atau pun oleh sarjana Muslim disebut sebagai kecerdasan rohaniah (transcendental intelligence). (Tasmara: 2004:61)
Kecerdasan rohaniah mampu membekalkan semangat, kekentalan, kesabaran, keikhlasan, kejujuran, integriti, dsb. Seseorang yang merasakan dirinya dekat dengan Tuhan akan sentiasa berbuat baik, berbakti kepada masyarakat demi mencapai keridhaan Sang Kekasih dan mengharapkan ganjaran-Nya di akhirat kelak. Kecerdasan rohaniah menghasilkan taqwa (self-restrain) yang dapat menghalang seseorang Muslim daripada melakukan perbuatan maksiat, jahat dan tercela walaupun tiada pengawasan dan kawalan luaran.
Tasawwuf tidak memundurkan seseorang. Seseorang yang dekat dengan Allah Swt. adalah orang yang banyak berbuat dan bukan hanya berharap. Ungkapan yang menggambarkan keperibadian para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w. adalah mereka itu seperti para rahib di waktu malam dan pasukan berkuda pada waktu siang “ruhbanun fi al-layl wa fursanun bi al-nahar.” Inilah gambaran sebenar seorang Muslim yang benar-benar mengikuti ajaran Islam. Seorang yang dekat dengan Tuhan tetapi juga seorang yang beraksi dan bukan hanya penonton. Seorang Muslim sejati adalah yang memainkan peranan sebagai aktivis, reformis, pengurus, pentadbir, pemikir, pendidik dsb. Mereka adalah golongan yang dirasakan akan kehadiran mereka oleh umat ini dan merasa kehilangan dengan ketiadaan mereka.
Revitalisasi Tasawwuf di Abad Modern
Tasawwuf perlu diperkenalkan semula kepada masyarakat dengan pendekatan yang baru. Pendekatan yang menumpukan pada substansi dan bukannya bentuk (form). Pendedahan yang apresiatif sekaligus kritis perlu diperkenalkan kepada para pendidik. Tidak seperti ilmu Syari‘ah lainnya, tasawwuf adalah ilmu yang mengalami perkembangan yang luas dan terkadang tidak terkawal. Dalam menggambarkan hal ini, al-Attas (2006:96) mengatakan bahwa seseorang itu mesti dapat membedakan antara aspek positif tasawwuf daripada aspek negatifnya. Menurutnya aspek negatif tasawwuf sebenarnya tidak merujuk kepada tasawwuf yang sebenar. Al-Attas (2001: 96) mendefinisikan tasawwuf sebagai pengamalan Syariah dalam maqam ihsan. Baginya tasawwuf membentuk dimensi ruhani Islam di mana organ yang digunakan juga adalah organ spiritual (fu’ad, qalb). Dimensi dalaman ini menuntut seseorang pergi lebih jauh daripada sekedar pengamalan luaran.
Muhammad al-Ghazzali (tt: 103) juga telah mencoba melakukan tajdid terhadap tasawuf. Persoalan utama yang ingin diatasi olehnya adalah bagaimana mengeluarkan tasawwuf dari ‘gua pertapaan’ sehingga ia dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan. Muhammad al-Ghazali (tt:104) menjelaskan bahawa konsep ihsan yang ditekankan dalam hadist tidak seharusnya dibatasi pada ibadah khusus saja. Hadist lain menuntut bahwa Allah Swt. mewajibkan hambanya berlaku ihsan pada setiap perkara yang dilakukan.
Berangkat daripada hadist ini Muhammad al-Ghazali (tt: 105) mengatakan adalah tanggungjawab setiap Muslim untuk memastikan segala tindakannya, pekerjaan yang dipilihnya, bidang yang digelutinya dilakukan dengan sebaik mungkin untuk menjamin kualitas dan tahap kecemerlangan yang tertinggi. Bahkan menurutnya, pelaksanaan fardu kifayah tersebut akan menentukan setiap Muslim dapat melaksanakan fardu ‘ain. Dengan demikian tidak ada alasan umat Islam ketinggalan dalam bidang sains, teknologi, militer, ekonomi dsb. Kerena apabila wujud sikap untuk berbuat yang terbaik (ihsan) dalam melakukan setiap perkara maka umat Islam tidak akan ketinggalan dan mundur seperti sekarang ini (Muhammad al-Ghazali, tt:106)
Di Nusantara, telah muncul seorang ilmuwan besar yang telah mencuba untuk memurnikan ajaran tasawwuf. Hamka (2005:21) menyadari bahawa perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia Islam umumnya telah dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf yang menyeleweng. Dalam menanggapi hal ini antara lain Hamka mengatakan:
“Di dalam zaman kekacauan pikiran, lantaran kurang baiknya ekonomi, sosial dan politik; kerapkali timbul kerinduan ummat hendak melepaskan fikiran dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke dalam daerah khayalan Tasauf”.
Menurut Hamka (2005:153), orang pertama yang menyerukan tajdid tasawwuf di Nusantara adalah Ahmad Khatib bin ‘Abdul-Latif al-Minangkabawi yang mengajar di Mekah. Beliau telah menentang keras amalan-amalan ahli tariqat terutamanya tariqat al-Naqshbandiyyah yang menghadirkan guru-guru tariqat ketika permulaan suluk. Menurut ulama’ ini perbuatan seperti itu adalah syirik. Sebagai kesimpulan Hamka menyarankan agar tasawwuf dikembalikan kepada pokok pangkalnya yaitu Tauhid.
Perlu dijelaskan bahwa dalam seseorang itu mempelajari tasawuf di abad modern ini tidak semestinya bertariqat. Karena tasawwuf tidak hanya tertumpu pada zikir, suluk, mujahadah, salasilah dan kuantiti ibadah khusus yang banyak tetapi yang lebih penting adalah pemahaman dan penghayatan terhadap hakikat ajaran tasawwuf. Hakikat tasawwuf ialah hidupnya hati nurani dan jiwa manusia yang senatiasa sadar akan hakikat dirinya, dan hakikat ketuhanan dalam setiap amal perbuatannya (Hamka, 2005: 17). Seorang sufi melihat segalanya berasal daripada Allah Swt, dengan kuasa Allah Swt. dan akan kembali kepada Allah Swt. Seorang sufi tidak terpikir untuk melepaskan dirinya dari tunduk kepada Syariah, justru dia akan sentiasa memelihara diri daripada perkara-perkara yang ditegah oleh Syari‘ah.
Hasan Al-Banna (dalam Hawwa: tt: 116), pengasas al-Ikhwan al-Muslimin, memperkenalkan sistem usrah untuk menjadikan tarbiyyah ruhiyyah sebagai asas pembangunan pejuang dakwah. Jelas sekali bahwa Ia melakukan penggabungan antara tasawwuf dan fiqh al-harakah. Tasawwuf tidak menjadi tujuan tetapi alat untuk membentengi diri dan memperkuat barisan. Tasawwuf yang ingin diketengahkan di sini bertujuan untuk meningkatkan kerohanian dan mendidik jiwa para da‘i sebelum mereka berperanan sebagai pembimbing masyarakat. Sebagai seorang da‘i tasawwuf dapat menjadi sumber kekuatan, semangat dan daya juang yang sangat diperlukan dalam penyebaran dakwah.
Kesimpulan
Tasawwuf di abad modern semestinya dikembalikan kepada fungsinya yang asal yaitu sebagai satu kaedah untuk membina manusia rabbani, manusia yang unggul. Suatu jalan yang membina hubungan manusia dengan Tuhannya dan masyarakat sekelilingnya. Ia juga berperan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia karena keseimbangan jasmani dan rohani yang dapat menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Sufi-sufi modern tidak anti dunia melainkan terlibat dalam dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Diin. ‘Ammin: Maktabah Fayyai, t.t.(Terjemahan)
Hamka, Tasawwuf: Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke-20, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.
Ibn Khaldun, Muqaddimah al-lamah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Nasr, Seyyed Hussain, Tasawuf Dulu dan Sekarang, penterjemah Abdul Hadi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Nursi, Said, Menikmati Takdir Langit, diterjemahkan oleh Fauzy Bahreisy dan Joko Prayitno. Jakarta: Murai Kencana, 2003.
Al-Qaradawi, Yusuf, Thaqifat al-Din’iyah. Kaherah: Maktabah Wahbah, 1996.
Rahman, Fazlur, Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1979 (Terjemahan)
Siddiq Fadzil, Perspektif Qur’ani: Siri Wacana Tematik. Kajang: Biro Dakwah dan Tarbiyah ABIM Pusat, 2003.
Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah (transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Jalaluddin Rahmat, Tasawwuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed.), Kuliah-kuliah Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Hidayah:2000).
Dimpun dari berbagai sumber *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar