Selasa, 01 September 2009

TASAWUF DAN PENGERTIANNYA

TASAWUF: ASAL-USUL DAN MAQAMAT

A. PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan tujuan semata beribadah kepada-Nya. Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ(4)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (At-Tin: 4)

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah: 30)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Ad-Dzariat: 56)

Selanjutnya Rasulullah memberi tuntunan bagaimana proses ibadah itu hendaknya diwujudkan:

عن أبي هُرَيْرَةَ قال كان النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارزًا يومًا للناسِ فأَتاه رجلٌ فقال: ما الإيمان قال: الإيمان أن تؤمنَ بالله وملائكتِهِ وبلقائِهِ وبرسلِهِ وتؤمَن بالبعثِ قال: ما الإسلامُ قال: الإسلامُ أن تعبدَ اللهَ ولا تشركَ به وتقيمَ الصلاةَ وتؤدِّيَ الزكاةَ المفروضةَ وتصومَ رمضانَ قال: ما الإحسان قال: أن تعبدَ الله كأنك تراهُ، فإِن لم تكن تراه فإِنه يراك قال: متى الساعةُ قال: ما المسئولُ عنها بأَعْلَم مِنَ السائل، وسأُخبرُكَ عن أشراطِها؛ إِذا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذا تطاولَ رُعاةُ الإبِلِ البَهْمُ في البنيان، في خمسٍ لا يعلمهنَّ إِلاَّ الله ثم تلا النبيُّ صلى الله عليه وسلم (إِنَّ الله عنده علم الساعة ) الآية: ثم أدبر فقال: رُدُّوه فلم يَرَوْا شيئاً فقال: هذا جبريل جاءَ يُعَلِّمُ الناسَ دينَهم (متفق عليه)

“Dari Abi Hurairah ia berkata: Suatu hari Nabi SAW. nampak di tengah manusia, lalu seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya: “Apakah iman itu?” Rasul menjawab: “Iman ialah engkau percaya pada Allah, Malaikat-Nya, bertemu dengan-Nya, Rasul-Nya dan bangkit dari kubur (hari kiamat). Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Islam itu?”. Rasul menjawab: “Islam adalah Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikan zakat fardhu, dan berpusa bulan Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu?”. Rasul menjawab: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Lelaki itu bertanya lagi: “Kapan terjadi hari kiamat?”: Rasul menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal ini (rasul) lebih mengetahui jawabannya dari si penanya, aku akan jelaskan tentang tanda-tanda kiamat (ialah): apabila seorang budak melahirkan tuannya, apabila para penggembala binatang ternak telah berlomba bermegah dalam bangunan, ia termasuk lima hal yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah”, lalu Rasul membaca ayat: إِنَّ الله عنده علم الساعة sampai ayat terahir. Lalu lelaki itu pergi dan Nabipun berkata kepada para sahabat: “Panggillah lelaki itu”, tetapi tak seorangpun dari sahabat melihatnya lagi. Lalu Nabi berkata: “Lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada hadis di atas Nabi membimbing setiap Muslim dalam beribadah dan menyembah Allah dengan konsep Ihsan yang dijelaskan rasul dengan: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Konsep ini adalah dasar bertasawuf dalam Islam. Menurut rasul, setiap muslim hendaklah selalu menjalin hubungan yang intim dengan Tuhannya setiap saat. Sebab, bagi muslim setiap gerak anggota badan, panca indera dan bahkan hati adalah rangkaian pemenuhan kewajiban ibadah kepada-Nya. Allah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isro: 36)

Allah sangat dekat dengan hamba-hambaNya, Allah berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ(186)

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Al-Baqarah: 186)

Selanjutnya kalangan ulama tasawuf memberikan pengajaran bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mewujudkan perilakau ihsan dalam keseharian dengan beragam jalan diantaranya maqamat seperti dirumuskan oleh para sufi.

Permasalahannya adalah: Darimana asal usul tasawuf dan Apa konsep maqamat dalam tasawuf serta aplikasinya dalam kehidupan?

B. PENGERTIAN TASAWUF

Sebelum lebih jauh membahas tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian singkat sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni. Karena memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT.[1] Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari kata saff, artinya saff atau baris. Mereka dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada baris (saff) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap-Nya.[2] Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi mesjid (suffah) yang hidup pada masa nabi SAW.[3] Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka (para sufi) tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf).[4]

Sedangkan tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:[5]

1. Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.

2. Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.

3. Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.

4. Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.

5. Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).

C. TUJUAN TASAWUF

Adapun tujuan tasawuf adalah:

1.      Menurut Harun Nasution, tujuan  tasawuf  adalah  mendekatkan  diri sedekat  mungkin dengan  Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan.[6]
2.      Menurut K. Permadi, tujuan tasawuf ialah fana untuk mencapai makrifatullah, yaitu leburnya diri pribadi pada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhanan.[7]
Dengan demikian inti dari ajaran tasawuf adalah menempatkan Allah sebagai pusat segala aktivitas kehidupan dan menghadirkan-Nya dalam diri manusia sebagai usaha memperoleh keridaan-Nya.

D. ASAL USUL TASAWUF

Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan di atas.

Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8); petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).[8]

Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6); yakin, tawakal (al-Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37); beribadah dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110), takut terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53); amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.

Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:

كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى

“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.

Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.” dan al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Juga hadis riwayat Imam Bukhari berikut yang menyatakan:

لا يزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع وبصره الذى يبصر به ولسانه الذى ينطق به ويده الذى يبطش بها ورجله الذى يمشوى بها فبى يسمع فبى يبصر وبى ينطق وبى يعقل وبى يبطش وبى يمشى.

“Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat, sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berjalan; maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”

Hadis tersebut memberi petunjuk dapat bersatunya manusia dan Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fana’nya makhluk kepada Tuhan yang saling mencintai.

Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.

Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu do’anya nabi bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan lapar.

Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan shalat, Aisyah bertanya: “Wahai junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi SAW menjawab: ‘Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. 68:4). Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab: “Akhlaknya adalah al-Qur’an”. (HR. Ahmad dan Muslim).

Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

Demikian sekilas asal-usul tasawuf dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian perlu juga kita perhatikan pendapat dari kalangan orientalis Barat. Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, selanjutnya unsur di luar Islam yang masuk ke dalam tasawuf menurut orientalis dapat dijelaskan berikut:

1. Unsur Masehi (agama Nasrani)

Orang Arab sangat menyukai cara kependataan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah.Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.[9]

Unsur lain yang dikatakan berasal dari Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan syekh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.[10]

2. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia Islam di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola fikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.[11]

Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat ke dunia Islam melalui mazhab paripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (paripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.

Filsafat emanasinya Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal mula tasawuf di dunia Islam. Dalam emanasinya, Plotinus menjelaskan bahwa roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan tetapi ketika masuk ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Penyucian roh dilakukan dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sebisa mungkin, atau bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.[12]

3. Unsur Hindu/Budha

Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.[13]

Salah satu maqamat sufiah al-Fana nampaknya ada persamaan dengan ajaran Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.[14]

Menurut Qomar Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.[15]

4. Unsur Persia

Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.[16]

Dari semua uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.

E. MAQAMAT

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Harun Nasution menyebut dengan istilah stations.

Tentang berapa jumlah tangga, station atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu: al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridha. Sementara itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu: al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.[17]

Kutipan di atas memperlihatkan penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh kalangan sufi disepakati, ialah: al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawadhlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat, ketiga istilah terakhir oleh para sufi terkadang disebut sebagai maqamat, dan terkadang sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).

Berikut kami uraikan secara singkat tujuh maqamat yang disepakati:

1. al- Taubah

Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis yang mendorong setiap hamba untuk selalu bertobat terhadap kesalahan. Diantaranya firman Allah:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ(135)

“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imron: 135)

Nabi SAW bersabda:

قال الله تعالى ياابن ادم إنك ما دعوتنى ورجوتنى غفرت لك على ما كان منك ولا أبالى ياابن ادم لو بلغت ذنوبك عنان السماء ثم استغفرتنى غفرت لك ياابن ادم إنك لو أتيتنى بقراب الأرض خطايا ثم لقيتنى لا تشرك بى شيئا لاتيتك بقرابها مغفرة. (رواه الترمذى)

“Allah SWT berfirman: “Wahai Ibn Adam sesungguhnya sepanjang engkau memohon dan mengharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau atas segala dosa yang ada dan aku tidak peduli (seberapapun), Wahai ibn Adam, andai saja dosamu sampai sepenuh langit kemudian engkau datang memohon ampun kepada-Ku, engkau akan aku ampuni, Wahai ibn Adam, sesungguhnya andai engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian bertemu dengan-Ku dengan tidak menyekutukan Aku pada suatu apapun, pasti Aku akan mendatangimu (pula) dengan ampunan sepenuh isi bumi.” (HR. Tarmidzi)

Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Taubat dibedakan menjadi taubat dalam syariat biasa ialah taubatnya orang awam dan maqam taubat ialah taubat orang khawas. Dalam hal ini ulama sufi Dzu al-Nun al-Mishri mengatakan:

توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة

“Taubatnya orang-orang awam adalah (sekedar) taubat dari dosa-dosa, sedang taubat orang khawas ialah taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan).”[18]

Bagi golongan khawas atau sufi, yang dipandang dosa adalah tidak sekedar berbuat maksiat kepada Allah, bahkan yang terbesar adalah dosa ghaflah (terlena dari mengingat Tuhan). Dengan demikian taubat merupakan pangkal peralihan dari hidup lama (ghaflah) ke kehidupan baru secara sufi, yakni hidup selalu mengingat Tuhan sepanjang masa.

Karena taubat menurut sufi terutama adalah taubat dari ghaflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam التوبة من توبة (taubat dari taubat), maksudnya mentaubati terhadap kesadaran keberadaan diri dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri. Dalam hal ini Hujwiri mengatakan:

Orang yang bertaubat adalah pencinta Tuhan. Pencinta Tuhan adalah selalu ingat pada Tuhan. Maka ingat pada Tuhan berarti salah bila masih ingat akan dosanya. Karena ingat akan dosa itu adalah tabir penyekat antara Tuhan dengan pengingat Tuhan. Kesadaran akan keberadaan dirinya itu termasuk dosa, bahkan dosa yang paling besar dari segala dosa-dosa. Melupakan dosa dengan demikian harus melupakan keberadaan dirinya.”[19]

Keberadaan pada maqam التوبة من توبة dalam ilmu tasawuf adalah proses kepada hal (mystical sate), yakni telah merupakan anugerah Tuhan semata-mata, dan bukan lagi hasil upaya manusia. Dalam hal ini R.A. Nicholson mengatakan:

“Acording to the hit mystical theory, repentance is purely an act of divine grace, coming from God to man, not from man to God.”[20]

Menurut teori mistik yang tinggi, taubat semata-mata anugerah Tuhan, datang dari Tuhan kepada manusia, bukan dari manusia kepada Tuhan.”

  1. al-Wara

Secara harfiah al-Wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-Wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (subhat).[21]

Ibrahim bin Adham, seorang ulama sufi mengatakan:

الورع ترك كل شبهة وترك مالا يعنيك وهو ترك الفضلات

”Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau subhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.”[22]

Dasar dari sikap al-Wara’ adalah sabda Nabi SAW.:

فمن اتقى من الشبهات فقد استبرأ من الحرام (رواه البخارى)

“Barangsiapa yang dirinya terbebas dari subhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari).

Sahabat Nabi SAW. Abu Bakar as-Shiddiq pernah berkata:

كنا ندع سبعين بابا من الحلال مخافة أن نقع فى باب من الحرام

“Kami meningalkan tujuh puluh pintu menuju yang halal lantaran takut jatuh pada satu pintu menuju haram”.

Ulama sufi membagi wara’ ke dalam beberapa tingkatan, seperti dikatakan oleh Yahya bin Ma’adz:

الورع على وجهين ورع فى الظاهر وهو أن لا يتحرك إلا لله تعالى وورع فى الباطن وهو أن لا يدخل قلبك سواه تعالى

“Wara’ itu dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak kecuali untuk ibadah pada Allah; dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu kecuali Allah Ta’ala.”[23]

  1. al-Zuhud

Secara harfiah al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[24] Sedangkan menurut Harun Nasution keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya menurut al-Qusyairi, ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.[25]

Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan, Pertama (terendah), ialah menjauhkan dunia agar terhindari dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Dan Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.[26]

Dasar dari sikap zuhud adalah firman Allah:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا(77)

“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (an-Nisa’: 77)

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(32)

“Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka[468]. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32)

فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ(38)

“ Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah: 38)

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى(17)

“sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 17)

Abdul Hakim Hasan dalam bukunya al-Thashawwuf fi al-Syi’ri al-‘Arabi mengatakan:

“Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Nabi SAW. bersabda: ”Jika kamu sekalian melihat seseorang dianugerahi zuhud di dunia dan cerdas nalarnya, maka kau dekatilah dia, bahwasanya dia adalah orang bijaksana.” Dikatakan, zuhud adalah setengah dari firman Allah: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu; dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” (al-Hadid: 23). Maka seorang zahid tidak bergembira dengan adanya dunia di tangannya. Abu ‘Usman berkata: “Zuhud itu kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak peduli siapa yang mengambilnya”. Kesemua makna-makna di atas berkisar pada menghindari kelezatan hidup duniawi dan kenikmatannya, dan ketiadaan kecenderungan kepadanya. Maka Zuhud itu salbi (negatif) sifatnya.”[27]

  1. Fakir

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[28]

Jika pada maqam wara’ seorang sufi berusaha meninggalkan subhat agar hidup hanya mencari yang jelas halal, kemudian dengan zuhud telah menjauhi keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting bagi kelangsungan hidupnya, maka dalam maqam fakir seorang sufi mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah. Maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tahthir al qalbi bi ‘l-kulliyati ‘an ma siwa ‘llah” (penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Allah). Inilah ajaran qath’u al-‘ala’iq قطع العلائق atau tajrid التجريد yakni ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia. Yang dituju dengan konsep fakir atau tajrid sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada kegandrungan pada keindahan penghayatan makrifat pada Zat Allah saja disepenjang keadaan. Yakni terciptanya suasana hati yang netral, tidak ingin dan tidak memikirkan ada atau tidaknya dunia.[29]

Yang menjadi dasar maqam fakir ini, menurut Imam al-Ghazali, adalah kelakuan Nabi SAW sewaktu emas belum diharamkan bagi pria, Nabi pernah berkhotbah dan di tengah-tengah khotbahnya beliau berhenti serta menanggalkan dan melempar cincin emas dari tangan beliau. Sewaktu ditanyakan tentang kejadian itu beliau menjawab bahwa cincin itu mengganggu kekhususkan khotbahwanya.[30]

  1. Maqam Sabar

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atma mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Ibn Usman al-Hariri mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Pendapat lain mengatakan sabar adalah menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal.[31]

Dasar maqam sabar, banyak terdapat dalam firman Allah dan hadis Nabi diantaranya:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (al-Ahqaf: 35)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ(153)

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 153)

Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah fakir yang merupakan syarat untuk bisa berkonsentrasi dalam berzikir mengingat Allah. Dalam keadaan fakir, seseorang dalam hidupnya tentu akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh sebab itu ia harus segera melangkah ke maqam sabar. Jadi dengan maqam sabar, para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa ada keluhan sedikitpun. Itulah laku maqam sabar dalam tasawuf.

  1. Maqam Tawakal

Dasar tawakal sebagai maqam dalam sufi, adalah firman Allah:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ(51)

“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (at-Taubah: 51)

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ(11)

“Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (al-Maidah: 11)

Dalam syari’at Islam Ahlus Sunnah diajarkan bahwa tawakal dilakukan sesudah segala daya upaya dan iktiyar dijalankan. Jadi yang ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Allah adalah hasil usaha setelah segala ikhtiyar dilakukan. Sedangkan dalam tasawuf maqam tawakal dijadikan sebagai wasilah atau tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah, dan menyerahkan segala sesuatu termasuk jiwa raganya hanya kepada Allah SWT.

Dalam risalah Qusyairiyah disebutkan bawa Sahl bin Abdullah mengatakan: “Permulaan dari maqam tawakal itu adalah seorang hamba (manusia) di depan Allah Yang Maha Kuasa laksana mayat di depan orang yang memandikan, dibolak-balikkan sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiyar.” Dalam risalah ini juga disebutkan bahwa Hamdun mengatakan: ”Tawakal itu berserah diri (mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Allah sepenuhnya.”[32]

Konsep tawakal yang dikembangkan oleh kalangan sufi condong kepada tawakal faham jabariah, ialah menggantungkan segalanya kepada Allah SWT. Hal ini karena penghayatan akhir yang dicitakan oleh seorang sufi adalah penghayatan yang diluar kemampuan dan ikhtiyar manusia, akan tetapi karena kehendak Allah semata seperti penghayatan fana’ dan mukasyafah, suatu pengalaman ruhaniah yang amat tergantung sepenuhnya pada kekuatan dari luar manusia.

  1. Maqam Ridla

Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup para sufi bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Allah, meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Allah, selanjutnya harus segera diikuti penataan hati untuk mencapai maqam ridla.

Maqam ridla adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk keadaan jiwa baik itu kebahagiaan, kesenangan, penderitaan, kesengsaraan dan kekusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan karena kebahagiaan menikmati segala pemberian Allah SWT. Yakni sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali, rela menerima apa saja, segala yang telah dan sedang dialaminya itulah yang terbaik baginya, tak ada yang terlebih baik selain apa yang telah dan sedang dialaminya. Ibnu Khaff mengatakan tentang ridla: ”Kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya”. An-Nuri mengatakan: “Ridla itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”. Robi’ah al-‘Adawiyah mengatakan: “Jika dia telah gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat.”[33]

Seorang sufi akan selalu bahagia bersama Tuhannya, karena bagi sufi segala keadaan hidup baik itu nikmat atau cobaan adalah dalam rangka beribadah semata mengharap ridha Allah SWT.

Dasar ridla sebagai maqam dalam sufi adalah firman Allah:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(62)

“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)

Juga dalam hadis Qudsi, Allah berfirman:

إنني اناالله لا اله الا انا من لم يصبر على بلائى ولم يشكر لنعمائى ولم يرضى بقضائى فليخرج من تحت سمائى وليطلب ربا سواي

“Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku”.

F. KESIMPULAN

1. Tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.

2. Para sufi mengenalkan jalan untuk mengenal Allah yang disebut Maqamat, ialah jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Maqamat dalam sufi tersebut adalah: al-Taubah, al-Wara’, al-Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal, dan al-Ridla.


DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002

al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996

Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996



[1] Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 hal.42-3

[2] Ibid.

[3]Ibid. hal. 44.

[4] Ibid. Hal 44-5.

[5] Drs. K. Permadi, S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. hal. 28-9

[6] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html

[7] Drs. K. Permadi. Op.cit. hal. 89

[8] Dr. H. Abudin Nata, MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal. 181

[9] Ibid. hal. 185-6

[10] Ibid.

[11] Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000. hal. 35

[12] Ibid. hal. 36

[13] Ibid. hal. 33

[14] Drs. H. Abuddin Nata, MA. Op.Cit. hal. 187

[15] Ibid.

[16] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Op.Cit. hal. 38-9

[17] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Op.Cit. hal. 193-4

[18] Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996. hal. 51

[19] Ibid. Hal. 53

[20] Ibid. Hal. 54

[21] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 199.

[22] Simuh. Op.Cit. hal. 56.

[23] Ibid. Hal. 55.

[24] Imam al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t. hal. 162-178.

[25] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 195.

[26] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Op.Cit. hal. 72.

[27] Simuh. Op.Cit. hal. 57.

[28] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 200.

[29] Simuh. Op.Cit. hal. 63.

[30] Ibid.

[31] Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Op.Cit. hal. 200

[32] Simuh. Op.Cit. hal. 67.

[33] Ibid. hal. 69-72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pencarian